Translate

Minggu, 22 Mei 2016

Menunggu Sesuatu Yang Tak Pasti

Iya, aku pernah menolak seseorang hanya karena menunggu ketidakpastian itu. Menunggu kamu yang seharusnya datang, hingga tersadar mungkin kemungkinan itu tidak  pernah datang.

Kamu memang tidak pernah menjanjikan apapun, tapi aku tetap menunggu kamu datang atau setidaknya pamit dengan sopan santun. Kamu tau kan rasanya menunggu yang tidak pasti? Setiap hari seolah melatih hati untuk bersiap dengan kemungkinan yang terjadi. Aku tau ini salah, salah kita pernah bertemu. Salah telah menitipkan hatiku, hingga akhirnya kamu bawa lari dan tidak pernah datang kembali. Kamu yang dulu datang menaruh harapan, kamu sendiri yang melupakan. Aku hanya bisa berdiri tidak berani pergi. .

Hingga akhirnya aku tau, kamu sudah terlampau jauh untuk kukejar. Terlampau tinggi angan itu untuk kugapai. Hingga menyisakan aku disini merenungi kenangan. Kamu sudah kembali menjalani kehidupanmu semula sebelum bertemu denganku. Meninggalkan harapan yang dulu pernah tidak sengaja kita dengungkan.

Pernah suatu ketika aku menghubungimu, iginku menanyakan keadaanmu, inginku bersenda-gurau seperti dulu. Namun apa balasannya? Aku seperti orang asing sekarang yang tidak pernah kamu temui sebelumnya. Hingga akhirnya, aku sudah tidak sampai hati untuk menghubungimu kembali. Mengganggu harimu. Iya, ini salahku yang selalu berharap lebih. Hingga kesempatan itu datang, kesempatan untuk mengunjungi kota itu. Sungguh, aku tidak pernah benar-benar bermaksud datang khusus menemuimu. Tetapi aku pikir, ada hal yang belum terselesaikan di antara kita. Atau mungkin saja hanya di diriku.

Aku tidak ingin lebih, aku hanya ingin terlepas dari ikatan yang sejatinya tidak pernah ada ini. Aku hanya ingin kepastian darimu, kepastian akan hal itu. Sejujurnya aku masih mengharapkannya. Meskipun aku tau ini terlalu memaksakan akan takdir, tetapi jika itu tidak bisa terjadi setidaknya aku bisa melanjutkan hidupku, begitupun hidupmu.

Maaf telah datang kembali. Maaf telah lancang menghubungi. Bukan aku bermaksud mengganggumu, ataupun merusak hari indahmu. Tapi aku harus tahu akan hal ini, agar aku bisa menjalani hari tanpa menunggu sesuatu yang tak pasti. Apakah kamu akan mengembalikan hati yang telah kamu bawa lari atau menyimpannya bersama di kemudian hari. Semua memang tidak lagi sama. Apapun yang kamu katakan, aku akan menerimanya.

“Berpura-puralah kamu masih sehati, karena selama ini kamu lah yang aku cari..”.
                                                                                                                                                                                               
Created by Popy Tasya Rahayu

Kamis, 25 Februari 2016

Remember

                Namaku Diana, aku baru saja masuk di SMP ternama didaerahku. Aku terkenal sebagai anak yang culun dikelasku. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai beradabtasi dengan pergaulan yang ada disekitarku sehingga aku mulai memperhatikan penampilanku. Saat itu sedang masa orientasi siswa, lalu aku melihat seorang laki-laki dengan postur tinggi, putih, dan memiliki wajah seperti orang Belanda. Laki-laki itu membuatku penasaran, hingga suatu ketika ada salah  seorang temannya memanggilnya.
                “Dam!” Seru temannya.
                “Apa?” Tanya laki-laki itu.
                “Lo masuk kelas berapa, Dam?”
                “Gue masuk kelas 7.3.”
Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka. Hah! Kelas 7.3, berarti dia sekelas denganku? Entah ini suatu kebetulan atau apa, yang jelas aku sangat senang mendengarnya.
                Seperti sekolah yang lainnya, hari pertamaku di sekolah hanya perkenalan saja. Aku pun berkenalan dengan laki-laki itu, namanya adalah Adam Lathram. Tidak ku sangka dia begitu friendly dengan orang yang baru dikenalnya, dia juga memiliki sifat yang humoris. Setelah ku lihat-lihat, teryata tidak hanya aku yang mengaguminya namun beberapa siswi dikelasku bahkan satu sekolah juga mengaguminya. Tidak heran memang kalau banyak yang mengaguminya. Dia tampan, dari golongan keluarga yang kaya, dan blasteran Belanda pula.
                Sudah tiga bulan aku sekelas dengan Adam. Suatu hari guruku meminta aku dan teman sekelasku untuk membuat sebuah kelompok matematika. Tidak kuduga, aku satu kelompok dengan Adam. Karena aku terpilih untuk menjadi ketua kelompok, maka aku sarankan untuk belajar kelompok di rumahku.  Saat sedang belajar, kami berdiskusi tentang pelajaran matematika  yang menurutku juga sulit untuk dicerna. Ditengah perdiskusian tersebut, ada saja tindakan Adam yang membuat gelak tawa anggota kelompokku. Aku sempat terpancing emosi olehnya karena saat itu juga aku sedang bingung memecahkan soal yang sangat sulit bagiku.
                ”Hey! Bisa gak sih serius sedikit, bercanda ada waktunya kok. Dan lo, Dam jangan bikin gue emosi dong!” Bentakku sambil menunjuk kearah Adam.
                “Iya Na. maafin gue ya, gue bakalan serius kok gak ngulangin lagi deh.” Jawab Adam.
Semuanya pun langsung terdiam, dan mulai melanjutkan diskusi tersebut. Aku merasa bersalah dengan ucapanku tadi, secara diam-diam aku memperhatikan Adam yang sedang serius. Dan disitulah aku melihat, sosok Adam yang tadinya bertingkah konyol berubah menjadi serius dan membuat ku semakin terkesan dengannya.
Saat kenaikan kelas dua, aku tidak satu kelas lagi dengannya. Walaupun aku dan Adam tidak satu kelas lagi kita masih berteman dekat. Pertemanan kami dekat tidak hanya saat disekolah saja, aku juga sering chatting dengannya. Entah itu curhat atau membahas pelajaran disekolah, ada saja topik untuk memulai percakapan itu.

                Semakin lama aku mengenal Adam, aku pun makin dekat dengannya. Namun ada rasa yang menurutku tidak biasa ketika aku berteman dengan yang lainnya, semakin hari perasaan itu semakin tumbuh.  Apa aku sedang jatuh cinta dengannya? Anak SMP sudah merasakan jatuh cinta? Apa mungkin? Mungkin saja aku hanya terkesan dengannya sebagai teman. Aku tidak mengerti apa itu cinta. Mulai dari situ aku menganggap perasaan ini hanya perasaan sebagai teman saja, gak lebih. Suatu ketika dipertengahan chatting antara aku dan Adam, Adam memberitahuku saat kenaikan kelas tiga nanti dirinya akan pindah mengikuti orang tua nya yang juga pindah pekerjaan. Disitu aku merasa sedih, bagaimana tidak? Teman laki-laki yang begitu akrab dengaku hanya dia seorang. Namun aku tidak bisa memaksanya untuk menetap disini.
                Aku penasaran kemana dia akan pindah, aku ingin bertanya kepadanya namun timing-nya selalu tidak tepat. Hingga suatu ketika aku bertemu dengannya di sebuah toko buku yang juga sering aku kunjungi untuk membeli komik-komik kesukaan ku.
                “Hey, Dam! Tumben lo ke toko buku?” Tanyaku.
                “Hey, Na. Haha gue lagi nyari buku nih buat belajar.” Jawab nya.
                “Emang buku apa sih yang lo cari?” tanyaku.
                “Buku tentang budaya London, terus gue juga mau nyari kamus buat les private Bahasa Inggris” Jawab nya.
                “Budaya London? Lo pindah ke London?” Tanyaku lagi.
                “Iya, Na. Yah walaupun gue pindah tapi kita masih bisa komunikasi kan?”
                “Iya, Dam bisa kok.” Balasku dengan sedikit senyuman.
                “Yaudah ya gue duluan, Bye.”
 Dan aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
                Ketika aku sampai dirumah aku melihat kalender dan melihat kapan jadwal kenaikan kelas, dan ternyata tinggal satu minggu lagi. Aku pun duduk terdiam didepan kalender dan dengan terburu-buru aku segera ke meja komputerku. Tanpa ragu, aku langsung meng-chat Adam.
“Hey, Dam. Maaf gue ganggu waktu lo, gue cuma mau tanya lo udah nyiapin semua dokumen  kepindahan lo?
Dengan gelisah aku menunggu balasan dari Adam, lalu beberapa menit kemudian Adam membalas chat-ku.
“Iya Na, dokumen buat pindahan udah diurus sama orang tua gue, tinggal nunggu Raport dari sekolah. Oh iya, Na. gue mau ketemu lo setelah pembagian raport, bisa?”
Rasa gelisahku semakin menjadi-jadi, tanpa berpikir panjang aku pun membalas pertanyaan Adam.
“Oh yaudah kalo gitu, gue tunggu di tempat biasa ya.”
                Setelah  pembagian raport, aku pun menunggu Adam ditempat biasa kita bermain bersama. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit Adam pun datang.
                “Hey, Na. Udah lama nunggu ya? Maaf ya tadi ada urusan bentar.” Sapa nya
                “Hay, Dam. Iya gapapa kok, Dam.” Jawab ku.
                “Eh iya ada apa? Ga biasanya lo ngajak gue ketemu kayak gini?´Tanya ku.
                “Iya Na gue  mau bilang sesuatu, jadwal penerbangan gue diganti jadi hari ini. Gue dan orang tua gue juga udah sepakat buat berangkat nanti malam jam 7. Maaf banget ya gue ngasih tau lo mendadak kayak gini. Yak arena lo teman terbaik gue, gue gamau pergi gitu aja tanpa sepengetahuan lo. Dan ini juga terakhir kita ketemu karna gue akan menetap di London 4 sampai 5 tahun disana.” Balas nya.
                “Ngg… I .. Iya gapapa kok Dam. Lo disana sampai 4-5 tahun? Lama juga ya.” Jawab ku
                “Ya begitu lah, oh iya gue ada sesuatu nih biar lo inget gue terus.” Balas nya sambil tersenyum dan memberikanku sebuah boneka teddy bear.
                “Ini buat gue?” jawab ku sambil menerima boneka yang dia berikan kepadaku.
                “Iya karna lo itu teman perempuan gue yang terbaik, eh gue  gak bisa lama-lama gue harus ngurusin barang-barang gue dulu. Daah Diana see you soon.”  Jawab nya
Hanya senyuman dan lambaian tangan, aku melepas kepergian Adam. Air mata ini hampir membasahi pipiku, namun aku masih bisa menahannya.

                Semenjak pertemuan terakhir itu, aku sangat jarang berkomunikasi dengannya karna jadwal dia yang begitu padat dan pada akhir nya aku dengan Adam lost contact. Walaupun begitu aku akan tetap mengingat Adam sebagai teman terbaikku.

Rabu, 10 Februari 2016

Radit

                Setelah lulus SMA aku melanjutkan studiku di salah satu perguruan tinggi swasta di luar kota tepatnya di kota Malang, karena jarak dari rumah ke tempat kampus ku cukup jauh maka aku memutuskan untuk nge-kost disana. Akhirnya liburan semester ganjil tiba, seperti anak rantauan yang merindukan kampung halamannya, aku pun memanfaatkan liburan ini dengan pulang ke rumah, lumayan lah hampir satu setengah bulan aku libur. Saat liburan, hampir setiap hari laptop menjadi teman setiaku. Ya,aku selalu membuka web untuk melihat hasil indeks prestasi semester ku, perasaan pun campur aduk untuk menunggu hasilnya. Setelah keluar hasilnya, Alhamdulillah…. hasil kerja kerasku di semester ini cukup memuaskan.
Hari ini aku berniat untuk pergi ke toko buku, ada salah satu novel  yang ingin aku beli. Saat aku sedang asyik membaca novel tersebut tiba-tiba seseorang dengan suara yang sedikit nge-bass memanggil namaku dan menyentuh pundakku, sontak aku langsung kaget.
“Firdha, kan?” Tanya nya.
“Astagfirullah…..” Seruku.
“Eh, maaf Fir. Gua gak ada maksud buat bikin kaget lu kok hehe maaf ya.”
“Ya ampun… Radit! Huuuhhh… hampir aja gua jantungan, lu bikin gua kaget aja sih.”
Dia adalah Radit, teman SD ku dulu sampai sekarang. Bisa dibilang juga sebagai mantan, karena saat aku SMA aku sempat berpacaran dengannya.
“Hahaha mulai deh lu lebay nya kumat.” Ejek Radit.
“Apaan sih, emang bener kok.”
“Hahaha… gimana kabar lu? Suka kesini juga rupanya?”
“Alhamdulillah kabar baik, enggak juga sih iseng aja kesini ada novel yang mau gua beli. Oh iya, lu gimana kabarnya?”
“Kabar gua baik juga. Lu sendirian aja, cowo lu mana?”
Aku langsung terdiam saat dia menanyakan itu. “Gua udah gak pacaran lagi sama dia.” Jawabku dengan nada rendah.
“Oh gitu toh, pantesan sendirian jomblo sih hahaha.”
Ya itu lah Radit, dari dulu sampai sekarang sifatnya tidak pernah berubah. Tetap menjadi Radit yang ku kenal, Radit yang selalu membuatku tertawa, Radit yang tidak pernah di ayak setiap omongannya  dan Radit yang penuh dengan banyolannya. Setelah aku membayar novel yang ku beli tadi, Radit mengajakku untuk makan bersama dengannya.
“Oh iya, lu gak buru-buru kan? Cari makan dulu yuk, laper nih gua.” Ajak Radit.
“Yeehh… bilang aja lu mau ngobrol lama sama gua hahaha..tapi ayo lah, gua juga laper nih belum makan dari lahir.” Jawabku.
“Hahaha… bisa aja lu. Belum makan dari lahir aja udah seger begini gimana kalo udah makan ya.”
               
Keluar dari toko buku tersebut, kami pun mencari tempat makan disekitar mall itu. Sekitar satu tahun aku tidak bertemu dengan Radit. Meskipun kami sudah putus namun aku dan Radit tetap berteman seperti biasa. Di tempat makan itu, kami mengobrol banyak tentang kesibukan kami sekarang. Dengan diselipkan kata-kata candaannya di setiap obrolan itu, aku pun tertawa mendengarnya. Karena asyiknya bercengkrama, tidak terasa hari sudah semakin sore. Aku memutuskan untuk pulang.
“Udah sore nih Dit, gua pulang ya. Oh iya, ini uang makannya tadi gua ganti.”
“Apaan sih, Fir. Udah simpen lagi.”
“Lho kok gitu, enggak-enggak apaan sih gua gak mau entar yang ada gua kepikiran sampe rumah kalo gua gak bayar makanan gua sendiri.”
“Yeh, dasar anak akuntansi, apa-apa mesti dihitung. Udah gak usah kan gua yang ngajakin lu makan, masa elu yang bayar sih.”
“Mmmmhhh… bener nih? Yaudah makasih ya.”
“Pake segala bilang makasih, kayak sama siapa aja hehe.”
Setelah itu, aku langsung bergegas pulang.
“Oh iya lu pulang sendiri kan? Bareng sama gua aja, kan kita rumahnya searah.” Ajaknya.
“Enggak usah deh, gua pulang sendiri aja gak enak gua sama lu, udah di bayarin makan sekarang mau nganterin gua pulang juga.”
“Masih kaku aja lu, Fir. Emang udah kenal berapa tahun sih lu sama gua. Udah yuk ikut gua!”
               
Radit langsung memegang tanganku, dan kami berjalan menuju tempat parkir. Saat itu cuaca sangat mendung, kami khawatir akan turun hujan maka dari itu kami cepat-cepat untuk pulang. Waktu itu tepat bersama  jamnya orang pulang kerja maka tidak heran kalau jalanan sangat macet. Radit akhirnya memutar arah untuk menghindari kemacetan tersebut.
“Yah, macet lagi lewat jalan pintas aja ya biar gak macet?” Tanya Radit.
“Iya nih, yaudah terserah lu aja karna gua juga sama sekali belum tahu kalo lewat jalan sini.” Jawabku.
Aku benar-benar tidak tahu jalan yang di tempuh Radit itu dimana, maklum aku hanya anak rumahan yang setiap hari kegiatannya hanya ke kampus lalu pulang ke rumah. Pikiranku saat itu semakin was-was kepada Radit, aku takut dibawa ke tempat yang tidak aku inginkan.
“Kita ini lewat mana sih, Dit?” Tanya ku.
“Lewat Galaxy aja, entar tembus nya ke Kemang, terus Narogong, abis itu baru deh sampe ke rumah lu.” Jelas Radit.
               
Saat di perjalan, hujan pun turun. Radit pun langsung meningkatkan kecepatan motornya agar cepat sampai di rumah ku. Aku yang hanya memakai kemeja dan Radit memakai jaket, tidak tega melihatku kehujanan dan basah kuyup. Akhirnya Radit menepi dan melepaskan jaketnya untuk dipakaikan padaku.
“Nih pake jaket gua aja, Fir.”
“Lho, terus lu pake apa masa cuma pake kaos doang? Emang lu gak bawa jas ujan?”
“Lupa gua jas ujannya gak kebawa. Santai aja gak usah mikirin gua, yang penting lu sampe rumah gak basah kuyup.”
Akhirnya aku memakai jaket yang diberikan oleh Radit padaku, kami langsung meneruskan perjalanan. Hujan pun semakin lebat, aku kasihan melihat Radit yang mengendarai motor dengan keadaan yang sudah basah kuyup karena terguyurnya hujan.
“Dit, kita neduh dulu yuk kasihan lu udah basah kuyup kayak gitu entar yang ada lu sakit aja.” Rayuku.
“Ini hujannya awet Fir, lu mau kalo kita neduh nunggu hujannya reda terus pas pulang ke rumah sampe jam Sembilan malem?” Bantah Radit.
“Enggak sih, tapi gua gak mau lu malah hujan-hujanan kayak gini.”
“Udah gua gapapa, ini udah jadi makanan sehari-hari gua. Yang harus dipikirin itu elu Fir, gua gak mau lu pulang kerumah dengan keadaan yang basah kuyup.”
                Saat itu aku kaget dengar ucapan Radit seperti itu, dia masih memikirkan keadaanku agar aku selamat sampai rumah dan dia rela hujan-hujanan demi aku. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Entah apa yang kurasakan saat itu, aku merasa aman saat bersamanya. Apa rasa cinta ini tumbuh kembali? Tidak, kami hanya berteman mungkin ini hanya rasa nyamanku berteman dengannya. Lagi pula mana mungkin dia mencintaiku, mungkin dia sangat peduli denganku hanya sebatas teman, tidak lebih. Jangan terlalu berpikir terlalu jauh, Fir. Akhirnya dia mengantarkanku sampai depan rumah, saat aku menawarkan untuk singgah dulu dirumahku, dia menolak karena hari sudah semakin malam.
                Aku masih memikirkan sifat Radit kepadaku tadi. Aku langsung BBM Radit, memastikan kalau dia sudah sampai rumah dengan selamat. Dan balasannya hanya seperlunya saja, dia juga tidak menanyakan keadaanku. Hmmmm… terlalu jauh aku mengambil kesimpulan, benar kan? Ternyata Radit hanya menganggapku sebagai teman, tidak lebih.
Created by Popy Tasya Rahayu