Translate

Sabtu, 28 Juni 2014

Kawan Lama

Sore hari ..... aku lelah menyiram halaman yang luas. Ternyata, ngurus taman itu nggak gampang. Aku sekarang tahu, pekerjaan Pak Mul itu nggak gampang. Melelahkan.
            Aku udah nggak mikirin itu lagi. Bersandar di sofa, terus ...... lesss. Aku tertidur, dan baru sadar saat dibangunin seseorang.
            “Si ....! Masa tidur dikursi? Pindah ke kamar gih!” katanya halus sekali. Mulanya kupikir Bi Tinah, tapi suaranya jadi lain. Aku membuka mata.
            Seseorang yang nggak kukenal tersenyum padaku. Tapi kok, dia mengenalku?
            “Siapa ya? Kalo nyari Papa atau Mama nggak ada. Lagi ke undangan.” Jawabku setengah takut.
            Dia tersenyum lagi.
            “Si, kamu sama sekali nggak mengenali aku?” tanya dia lagi.
            Aku berpikir keras untuk mengenalinya. Tapi, tetap saja aku nggak mengenalinya.
            Dia tertawa keras. “Sisi yang udah pikun atau aku yang udah kelewat banyak berubah, ya?” tanyanya lagi. “Ingat Fikri, kan? Ini Fikri!”
            Aku menepuk jidatku. “Ya ampun! Ini Fikri? Kamu udah segini gagahnya, Fik? Aku sampe pangling.” Kataku pelan. Nggak nyangka akan bertemu lagi sama tetangga sebelah di Lombok, yang belasan tahun lalu pernah akrab denganku. Sampai aku berumur 11 tahun, aku harus pindah ke Jawa untuk mengikuti orang tua. Sejak itu, aku nggak pernah ketemu Fikri yang dua tahun lebih tua dariku. Semenjak itu, aku nggak pernah kirim kabar.
            “Heh, malah ngelamun. Kenapa sih, kamu?” tanyanya memutuskan lamunanku.
            “Oh, ya. Aku benar-benar pangling. Kok kamu masih mengenaliku, apa wajahku nggak berubah, Fik?”
            “Berubah, tapi wajah kamu tetep sipit. Kayak dulu!” serunya.
            “Ya, gini-gini masih bisa lihat apa aja, kan?” kataku. “Gimana kabarnya Lombok?”
            “Nggak tahu, Si. Aku juga pindah sebulan setelah kamu pindah. Sekarang kamu kelas dua SMA, ya?” tanyanya.
            “Kok, kamu tahu, Fik?”
            “Tahu dong. Kan tadi aku ngitung.”
            “Sialan, kamu.” Seruku sambil menjitak kepalanya.
            “Kamu masih ingat kesukaan kita, kan?” tanyanya dengan memandangku lurus.
            Aku merasa nggak enak dipandang seperti itu. Apalagi dia ngucapin kata “Kita” dengan nada seperti itu.
            “Oh ya. Tentu. Kamu mau minum es jeruk? Sebentar ya aku ambilkan.” Kataku lalu meninggalkan Fikri.
            Nggak lama kemudian, Bi Tinah datang membawa segelas es jeruk.
            “Silakan, Fik! Sorry, Fik aku lagi flu jadi nggak minum es.”
            “Thanks!” katanya sambil meminum seteguk.
            “Nanti malam kamu ada acara nggak, Si? Mau kan, nemenin aku jalan-jalan melihat kotamu?”
            “Oh, ya? Berapa hari kamu akan tinggal di Klaten? Kamu dari Lombok pindah kemana?”
            “Ke Jakarta. Di Klaten aku cuma dua minggu. Dirumah Om ku.” Jelasnya.
            “Wah, lama juga kalo gitu.”
            “Kamu nggak suka ya kalo aku lama disini?”
            Aku heran juga. “Oh, nggak gitu. Maksudku, berarti cukup waktu untuk melihat sudut di Klaten. Kamu pikir, Klaten itu sempit?”
            “Kupikir, kamu nggak mau nemenin aku. Kan bisa aja, apalagi kalo pacar kamu ngelarang.”
            “Ya, nggak dong. Kamu kan  sahabat aku. Lagian nggak setiap hari bisa ketemu, kan?” tanyaku.
            “Nanti jalan-jalan mau?” tanyanya lagi.
            “Nanti?” tanyaku nggak percaya. “Oke, tapi kita tunggu Papa dan Mama dulu. Lagian juga aku belum mandi.”
            “Yaudah cepetan, mandi sana!” serunya.
            “Terus , kamu?”
            “Biar aku tunggu disini aja.”
            “Mendingan kamu main Game atau baca-baca. Yuk! Aku tunjukkin tempatnya.” Kataku terus mendahului pergi.
            Dia mengikutiku, kebetulan dia mau. Kalo nggak? Terus, Dion datang dan Fikri cerita yang nggak-nggak bisa kacau.
            “Kutinggal dulu, ya?” kataku.
            Dia tersenyum lagi.
            Kenangan belasan tahun yang lalu sebenarnya masih tersimpan dalam hatiku. Pulang pergi sekolah dibonceng, Fikri. Terus nyari ikan bareng. Sampai-sampai Fikri marah-marah kalo aku nangis karena ikanku diambil oleh anak lain. Fikri juga yang ngelindungin, kalo aku diusilin anak-anak cowok. padahal, dia itu jelek dan dekil. nggak nyangka deh kalo sekarang dia ada disini. gagah dan lebih ganteng. Pasti Dion nggak percaya kalo dia itu sahabatku.

                                                                                                                                                                                         *         

“Halo, Assalamu’alaikum, Dion?”
Wa’alaikumsalam,kenapa , Si?” tanyanya langsung to the point.
“Emm, nanti kamu nggak usah kerumah ya, Yon. Aku mau jalan-jalan sama sahabat aku. Boleh, kan?”
Why not? Aku juga lagi sibuk buat makalah. Terus .... ada lagi?”
Hah! Aku seperti tersentak. Nggak biasanya Dion kayak gitu!
“Si, kamu masih disitu, kan?” teriaknya.
“Ya. Gitu aja deh, Yon!”
Klik. Aku meletakkan handphone-ku ragu-ragu. Kayaknya ada yang nggak beres sama Dion. Tapi, Dion kan bilang kalo dia lagi sibuk ngerjain makalah? Biasanya kan, dia paling nggak suka diganggu kalo lagi ngerjain begituan? Entahlah .....

                                                                                                                                                                                         *          

            Malamnya, aku jalan-jalan dengan Fikri. Cerita-ceritanya yang kocak, membuatku lupa dengan Dion. Fikri tetap Fikri yang kukenal dulu.
            “Eh, lihat, Si!” serunya.
            Aku menoleh. “Apa?” tanyaku heran.
            “nggak apa-apa.”
            “Jayus, ah!”
            “Emang!” jawabnya dengan santai. Dan malam itu, aku bawa sekeranjang penuh berisi buah-buahan. Hari-hari berlalu. Fikri bersamaku hampir dua minggu. Dia bisa mengikuti setiap kegiatan dirumahku. Bisa mengimbangi Papa main tennis dan catur, juga menyenangi hati Mama dengan  menemaninya mengatur taman dan membawakan bunga sedap malam kesukaan Mama yang belum ada di taman.
            Fikri udah merebut hati Papa dan Mama. Dan juga merebut hatikukah? Dengan canda dan perhatiannya yang nyaris tidak pernah kudapatkan dari Dion.
            Semua itu membuatku mau tak mau membandingkan Fikri dengan Dion. Fikri ramah, ceria, enerjik, dan memperlakukanku bagai putri raja. Dia bisa membawa diri, terutama merebut hati Papa dan Mama.
            Sedangkan Dion? Dia pendiam. Nggak begitu ramah dan sulit untuk membiasakan diri. Dia nggak suka basket. Dia nggak suka jalan-jalan. Hari-harinya Cuma habis bercumbu dengan komputer, buku-buku, penelitian-penelitian yang membuat namanya berkibar dibidang penelitian ilmiah.
            Bahkan selama ini, Dion nggak pernah mengatakan cinta padaku. Aku hanya tahu kalo dia mencintaiku dengan menunjukkan sikapnya. Dia nggak pernah melirik gadis lain. Bahkan dia bertanya dulu apakah aku setuju jika dia ikut perlombaan diluar kota. Apakah ini bukan sikap yang manis? Bukankah dulu aku menyukainya karena semua itu? Karena dia nggak mau berhura-hura dan memamerkan kekayaan orangtuanya?
            Ah, kenapa kini, hampir dua minggu Dion nggak pernah menghubungi aku?
            Aku benar0benar bingung dan gelisah.kemarin Fikri mengatakan tentang persaannya kepadaku yang lebih dari seorang sahabat. Dia juga memintaku untuk menjawabnya sebelum dia pulang ke Jakarta.
            Apalagi, Mama yang sudah memberi lampu hijau kalo aku jalan dengan Fikri. “Mama tahu kalo kamu udah sama Dion. Tapi, Mama juga tahu kalo kamu lebih suka sama Fikri. Hari-hari kamu juga ceria. Dia juga lebih menyenangkan.” Kata Mama.
            Aku diam saja. Namun, kebingunganku membawaku kerumah Dion.
Seperti biasa, Dion lagi mencuci mobilnya di halaman setiap minggu. Saking asyiknya, dia nggak menyadari kehadiranku.
            “Lho, Si?” tanyanya sambil menjajariku duduk. “Ada masalah apa?”
            “Aku lagi bingung.” Jawabku ragu-ragu.
            “Soal Fikri?” tanyanya tanpa emosi.
            Aku terbelalak. “Kamu udah tahu, Yon?”
            “Lho, bukankah temanmu temanku juga, Si? Aku dikasih tau Chintya.” Katanya pelan. Tapi aku merasakan kecemburuannya.
            “Kamu sayang dia, Si? Aku nggak apa-apa kok, kalo kamu milih dia. Aku sayang kamu, Si. Dan itu sungguhan, tapi kalo itu malah ganggu kamu, aku harus gimana lagi? Aku memang gini, nggak bisa beramah tamah dengan sekelilingku. Padahal aku pengen banget. Tapi sulit!”
            “Aku .... aku ....” kata-kataku seperti tersangkut ditenggorokkan.
            Kemudian, kuputuskan untuk kepada siapa aku menjatuhkan pilihan. Kuputuskan untuk menceritakan semuanya kepada Dion, termasuk hatiku yang terganggu dengan kehadiran Fikri. Air mataku nyaris tumpah, tapi Dion membiarkan begitu saja.
            “Maafkan aku, Si. Aku emang nggak bisa seperti itu. Tapi, aku akan mencobanya demi kamu.” Katanya sambil menatapku.
            Aku menenggakkan kepala.
            “Nggak usah, Yon. Aku mengenalmu seperti ini. Aku yakin kamu lebih baik jadi diri sendiri, daripada terpaksa.”
            “Kamu pikir, aku nggak bisa berubah, Si?” tanyanya cepat.
            Aku diam.
            “Aku antar kamu pulang, ya?”
            “Aku bawa motor.” Jawabku.
            “Ooohh ... hati-hati kalo gitu. Atau kamu masih mau disini? Oh ya, sori. Waktu kamu nelpon, aku kasar banget. Soalnya waktu itu Bu Dian lagi ngasih pengarahan ilmiah, terus kamu nelpon. Buayar aku deh, semua konsentrasiku.” Jelasnya.
            Aku hanya tersenyum.

                                                                                                                                                                                         *          

“Jadi, aku ditolak, nih?” tanay Fikri setelah mendengar jawabanku. Rasanya memang sulit kalo harus ngecewain orang terdekat.
“Bukan gitu, Fik. Aku tetap jadi sahabat kamu. Bukankah sahabat itu kata yang manis, Fik?”
Fikri tersenyum pelan. “Aku terlambat?”
“Kamu akan mendapatkan yang lebih baik dariku.” Aku mencoba menghiburnya.
“Well, well, kayaknya sulit, tuh!”
“Kamu aja yang pilih-pilih!” seruku setengah tertawa.
“Masalah seserius ini kamu anggap lelucon?!” serunya. “Tapi, oke deh. Kamu tetap adikku, kan? Besok, aku balik ke Jakarta. Kamu mau jalan-jalan lagi?” tanyanya seperti nggak ada lagi kecewa yang dia simpan.
Fikri memang begitu. Kadang dia tertawa saat hatinya sedang duka, kadang dia menangis kala hatinya sedang bahagia.
“Nggak.” Kataku. “Kamu harus pulang. Ini malam minggu.”
“Oke, jaga diri baik-naik ya!” katanya terus berpamitan.
Aku mengantarnya. Tetapi .... masih didepan pintu, sosok bayangan muncul dihadapanku. Dion.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku nyaris nggak bisa berkata apa-apa. Dan aku hampir nggak bisa mempercayainya.
“Halo Fikri, udah mau balik, nih? Kapan pulang ke Jakarta?” tanya Dion ramah.
“Oh hay, Yon! Besok gue cabut ke Jakarta. Jaga ade gua baik-baik, ya! Jitak aja kalo nakal.” Seru Fikri.
“Kalian mempermainkan aku?!” teriakku keras.
“Hahaha, kamu jangan keliru! Tanya aja sama Dion semuanya.” Kata Fikri tanpa menghiraukan aku dan terus meninggalkan aku.
“Kamu jahat! Kamu jelek! Judes! Suka bohongin orang!” kataku sambil memukul-mukul punggung Dion.
“Denger dulu,” seru Dion masih dengan tawanya.
“Alaaahh, kamu tukang bohong!”
“Nggak, kemarin aku kerumah Fikri, terus ngomong baik-baik. Akhirnya keputusannya nunggu kamu. Tadi berarti ....”

Aku hanya bengong sendiri .....

Created by Popy Tasya Rahayu

2 komentar: