Kelas XI
IPA-2
Murid baru. Kelas berisik banget. Suara suit-suitan
terdengar ramai. Apalagi setelah tahu murid baru itu cewek, cakep lagi! Pantes
aja kalo mulut-mulut usil makin banyak.
Namanya Aini, dia pindahan dari
Bandung. Terus masih banyak lagi yang dikatakannya. Dia juga senang hati
menjawab pertanyaan dan gurauan dari teman-teman barunya. Mengesankan banget
kalo dia cewek yang berwawasan luas.
Kalo semua cowok mencoba mencari
perhatian Aini, Gilang malah cuek dan nggak menggubris. Dia acuhin aja si
Mojang Pariangan itu.
“Oh, ya. Dari tadi saya sudah
bercerita banyak. Sekarang gantian dong, yang cerita. Siapa yang mau?” tanya
Aini.
Tapi semua pada ogah untuk
bercerita. Penghuni IPA-2 hanya mau ngenalin namanya masing-masing.
“Lho, yang duduk didepan itu namanya
siapa?” tanya Aini sambil tersenyum manis.
“Liat aja buku absensi nomor tiga
belas!” katanya terus keluar.
“Yee, lo kok ketus gitu sih, Lang?!
Gak baik!” seru Bintang. Tapi Gilang cuma mencibir.
Usai kenalan, Pak Jupri langsung
bicara,
“Baiklah itu tadi teman baru kalian.
Kalo masih belum puas, bisa dilanjutkan nanti waktu istirahat.”
“Yaa, Bapak...., “ kata Agas kecewa.
Semua tertawa.
“Oh ya, Aini, kalo nanti menemukan
kesulitan dalam pelajaran, bisa menemukan bantuan pada Gilang atau Sandra.
Mereka siswa terbaik disini.” Kata Pak Jupri sambil promosi.
“Huuu ..... minta aku aja, Ni. Keenakan
Gilang kalo gitu. Bener nggak, coy!” teriak Andre yang memang paling seneng
godain cewek cantik.
Gilang udah balik lagi ke kelas.
Mendengar semuanya, dia hanya diam. Sepertinya, dia memang sengaja menjaga
jarak sama Aini.
“Gilang, aku boleh minta tolong, nggak? Soal yang
ini gimana sih, susah banget?” tanya Aini suatu hari.
“Oh maaf, Ni. Gua ada urusan ke ruang guru. Minta
ajarin Sandra aja, ya?” katanya terus pergi keluar.
Aini tidak bisa memaksa.
Di waktu yang lain, Gilang juga menolak permintaan
Aini ngajarin satu soal matematika.
“Sorry, Ni. Bukannya gua nggak mau bantu, tapi bener
deh, gua harus pulang cepet hari ini. Nyokap gua lagi sakit.” Kata Gilang.
Gilang memang sengaja menghindar. Dia nggak mau
berteman sama Aini. Aini sendiri juga nggak habis pikir, kenapa Gilang seolah
begitu membencinya. Seolah Ainin menemukan sesuatu yang disembunyikan Gilang
tiap kali dia menatap mata Gilang.
Di rumah, Gilang begitu kesal. Kesal sekaligus
marah. Kemarahan, kebencian, luka yang hampir kering, kini mencuat lagi. Mengapa luka ini melebar dan menyakitkan
sejak Aini hadir?
Gilang mengeluh pelan dalam hati. Sebenarnya, dia
nggak berhak memperlakukan Aini seperti itu. Aini nggak bersalah. Tetapi luka ini, kenapa harus menganga lagi?
“Gilang, sorry ya, kalo selama ini aku mengganggu
kamu terus. Tapi, untuk kali ini aku minta bantuan kamu untuk ngajarin pe-er
kimia. Boleh minta alamat kamu? Nanti biar aku yang kesana. Terserah kapan kamu
ada waktunya.” Kata Aini menjajari langkah Gilang.
“Tapi, Ni.” Kata Gilang tersendat.
“Please,
Lang. Kali ini aja.” Kata Aini memohon. Gilang diam sejenak. “Baiklah, rumah
gua di Jalan Cempedak 5. Gua tunggu jam empat sore.”
“Oke, nanti aku kesana.” Kata Aini senang.
Dirumah Gilang langsung mengerjakan pe-er nya. Tapi
sengaja hanya dibuat satu yang betul dari kelima soal itu. Dia nggak ingin
mengingat semuanya....
Begitu Aini datang kerumahnya, Gilang sudah siap
dengan alasannnya lagi.
“Aini, ini bukunya, lo bawa pulang aja. Atau lo
ngerjain disini juga nggak apa-apa, tapi gua nggak bisa nemenin lo, soalnya
barusan dapet telepon, gua harus nemenin Om Danu.”
Aini nggak bisa ngomong apa-apa, dia hanya memandang
Gilang. Bukannya Gilang nggak tahu, tapi dia hanya pura-pura nggak tahu.
“Baiklah, aku pulang dulu. Bukunya aku bawa, besok
aku balikin dikelas.” Kata Aini pelan, dan langsung pulang.
Gilang nganterin Aini sampai depan pagar, sambil
tertawa dalam hati. Gilang membayangkan betapa besok lusa kelasnya akan heboh.
Gilang Satya Wiratmaja, si bintang pelajar mendapat nilai dua untuk pelajaran
kimia. Dan Aini, kasihan sekali dikerjain. Tapi, Gilang nggak peduli.
“Lang, bukunya udah aku kumpulin. Kamu memnag
pintar. Pantas saja disebut bintang pelajar.”
“Thanks.” Katanya tipis. Tapi, dalam hati dia
berkata. Dasar anak bodoh!
Gilang siapa-siap menerima kekagetan gurunya. Gilang dapat nilai dua? Gilang
ngebayangin hal itu. Dia pun menyiapkan argumennya.
“Anak-anak, kalian sudah menangkap pelajaran dengan
baik. Pe-er kalian cukup bagus. Gilang sama Aini dapat nilai seratus. Rupanya
pemikiran mereka hampir sama. Kalian patut menirunya.” Kata Pak Iqbal, selaku
guru kimia.
“Hah?” Gilang nyaris tak percaya.
“Kenapa sih, lo?” tanya Dion. “Lo dapet nilai seratus
kan udah biasa, Lang.”
Gilang nggak bersuara, kini perhatiannya nggak lepas
dari cewek yang bernama Aini. Kalo dia bisa ngerjain soal itu dengan benar,
pasti dulu dia juga murid yang pintar disekolahnya. Lantas, kenapa dia sering ngejar gua buat ngajarin? Menunjukkan siapa
dirinya? Atau sebenernya mau menguji kemampuan gua?
Istirahat
...
“Aini, kenapa lo ngebenerin semua pe-er gua?” tanya
Gilang.
“Ah, Cuma gitu aja. Aku cuma nggak betah aja ngeliat
pekerjaan yang salah. Sebenernya, aku mau belajar sama kamu. Tuker pikiran,
terutama pada pelajaran Matematika. Siapa tahu dapet kesiapan buat ngadepin Olimpiade
Matematika di Singapura nanti.” Kata Aini tanpa sadar. “Oh, maksudku, Cuma
pengen belajar bareng.” Ralatnya buru-buru.
“Olimpiade Matematika?” tanya Gilang.
Aini ngerasa nggak enak.
“Nggak kok, Lang” kata Aini meralat.
Meskipun begitu, kini Gilang nggak bisa menganggap
Aini sembarangan. Dulu aja dirinya nggak lolos. Kalau Aini bisa, berarti Aini
temen juga rival yang nggak bisa dianggap enteng.
“Oh, ya, Ni. Thanks ya, tugas gua udah lo kerjain.
Soalnya, gua emang kurang teliti.” Kata Gilang akhirnya.
Aini tersenyum manis.
“Kalo boleh tahu, kamu kenapa seperti menghindar
dari aku?” tanya Aini pelan.
Gilang menatap Aini sekilas. Desir-desir halus
menyentuh keheningan nuraninya. Dia nggak tahu, apa itu milik Tasya, gadis yang
mengkhianatinya, ataukah milik Aini?
“Panjang ceritanya, Ni.” Kata Gilang pelan “Dulu gua
punya cewek. Muka dan rupanya nyaris mirip sama lo. Gua sayang banget sama dia.
Tapi, dia ninggalin gua dengan alasan yang dibuat-buat. Terus terang, gua sakit
hati sampe sekarang. Dia pikir gua ini apa, Ni? Padahal, dulunya dia itu kayak
lo, ngejar-ngejar gua dengan cara minta diajarin belajar. Huh, gua nggak bisa
ngilangin rasa sakit hati gua. Makanya, waktu lo hadir, luka itu kayak menganga
lagi. Gua jadi benci sama lo. Gua jadi males deket-deket sama lo, soalnya gua
nggak mau nginget-inget lagi. Tapi sekarang gua sadar, kok. Lo bukan dia,
walaupun kalian mirip satu sama lain.” Cerita Gilang panjang lebar.
Aini, menatap Gilang. Sekarang dia tahu kenapa. Dia
juga nggak bisa nyalahin Gilang. Toh, itu urusannya sendiri.
“Nyatanya, aku nggak seperti itu kan, Lang?” tanya
Aini.
“Nggak, gua salah sama lo.” Kata Gilang pelan.
“Nggak juga. Malah sekarang kita bisa belajar bareng
buat ngasih yang terbaik buat sekolah kita, kan?!” tantang Aini.
“Lo beneran, Ni?” tanya Gilang.
Aini mengangguk pasti.
“Yaaap ....” Gilang tersenyum lepas.
Aini pun tersenyum. Mereka berjalan beriringan
menuju kelas. Sesekali, mereka bertatapan dan tersenyum.
Dihati Gilang, bersemi sejuta angan. Akankah gua memiliki cinta Aini? Ataukah
akan berakhir seperti cinta gua dengan Tasya? Meninggalkan gua setelah
memberikan cintanya? Entahlah .....
Created by Popy Tasya Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar