Translate

Minggu, 22 Mei 2016

Menunggu Sesuatu Yang Tak Pasti

Iya, aku pernah menolak seseorang hanya karena menunggu ketidakpastian itu. Menunggu kamu yang seharusnya datang, hingga tersadar mungkin kemungkinan itu tidak  pernah datang.

Kamu memang tidak pernah menjanjikan apapun, tapi aku tetap menunggu kamu datang atau setidaknya pamit dengan sopan santun. Kamu tau kan rasanya menunggu yang tidak pasti? Setiap hari seolah melatih hati untuk bersiap dengan kemungkinan yang terjadi. Aku tau ini salah, salah kita pernah bertemu. Salah telah menitipkan hatiku, hingga akhirnya kamu bawa lari dan tidak pernah datang kembali. Kamu yang dulu datang menaruh harapan, kamu sendiri yang melupakan. Aku hanya bisa berdiri tidak berani pergi. .

Hingga akhirnya aku tau, kamu sudah terlampau jauh untuk kukejar. Terlampau tinggi angan itu untuk kugapai. Hingga menyisakan aku disini merenungi kenangan. Kamu sudah kembali menjalani kehidupanmu semula sebelum bertemu denganku. Meninggalkan harapan yang dulu pernah tidak sengaja kita dengungkan.

Pernah suatu ketika aku menghubungimu, iginku menanyakan keadaanmu, inginku bersenda-gurau seperti dulu. Namun apa balasannya? Aku seperti orang asing sekarang yang tidak pernah kamu temui sebelumnya. Hingga akhirnya, aku sudah tidak sampai hati untuk menghubungimu kembali. Mengganggu harimu. Iya, ini salahku yang selalu berharap lebih. Hingga kesempatan itu datang, kesempatan untuk mengunjungi kota itu. Sungguh, aku tidak pernah benar-benar bermaksud datang khusus menemuimu. Tetapi aku pikir, ada hal yang belum terselesaikan di antara kita. Atau mungkin saja hanya di diriku.

Aku tidak ingin lebih, aku hanya ingin terlepas dari ikatan yang sejatinya tidak pernah ada ini. Aku hanya ingin kepastian darimu, kepastian akan hal itu. Sejujurnya aku masih mengharapkannya. Meskipun aku tau ini terlalu memaksakan akan takdir, tetapi jika itu tidak bisa terjadi setidaknya aku bisa melanjutkan hidupku, begitupun hidupmu.

Maaf telah datang kembali. Maaf telah lancang menghubungi. Bukan aku bermaksud mengganggumu, ataupun merusak hari indahmu. Tapi aku harus tahu akan hal ini, agar aku bisa menjalani hari tanpa menunggu sesuatu yang tak pasti. Apakah kamu akan mengembalikan hati yang telah kamu bawa lari atau menyimpannya bersama di kemudian hari. Semua memang tidak lagi sama. Apapun yang kamu katakan, aku akan menerimanya.

“Berpura-puralah kamu masih sehati, karena selama ini kamu lah yang aku cari..”.
                                                                                                                                                                                               
Created by Popy Tasya Rahayu

Kamis, 25 Februari 2016

Remember

                Namaku Diana, aku baru saja masuk di SMP ternama didaerahku. Aku terkenal sebagai anak yang culun dikelasku. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai beradabtasi dengan pergaulan yang ada disekitarku sehingga aku mulai memperhatikan penampilanku. Saat itu sedang masa orientasi siswa, lalu aku melihat seorang laki-laki dengan postur tinggi, putih, dan memiliki wajah seperti orang Belanda. Laki-laki itu membuatku penasaran, hingga suatu ketika ada salah  seorang temannya memanggilnya.
                “Dam!” Seru temannya.
                “Apa?” Tanya laki-laki itu.
                “Lo masuk kelas berapa, Dam?”
                “Gue masuk kelas 7.3.”
Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka. Hah! Kelas 7.3, berarti dia sekelas denganku? Entah ini suatu kebetulan atau apa, yang jelas aku sangat senang mendengarnya.
                Seperti sekolah yang lainnya, hari pertamaku di sekolah hanya perkenalan saja. Aku pun berkenalan dengan laki-laki itu, namanya adalah Adam Lathram. Tidak ku sangka dia begitu friendly dengan orang yang baru dikenalnya, dia juga memiliki sifat yang humoris. Setelah ku lihat-lihat, teryata tidak hanya aku yang mengaguminya namun beberapa siswi dikelasku bahkan satu sekolah juga mengaguminya. Tidak heran memang kalau banyak yang mengaguminya. Dia tampan, dari golongan keluarga yang kaya, dan blasteran Belanda pula.
                Sudah tiga bulan aku sekelas dengan Adam. Suatu hari guruku meminta aku dan teman sekelasku untuk membuat sebuah kelompok matematika. Tidak kuduga, aku satu kelompok dengan Adam. Karena aku terpilih untuk menjadi ketua kelompok, maka aku sarankan untuk belajar kelompok di rumahku.  Saat sedang belajar, kami berdiskusi tentang pelajaran matematika  yang menurutku juga sulit untuk dicerna. Ditengah perdiskusian tersebut, ada saja tindakan Adam yang membuat gelak tawa anggota kelompokku. Aku sempat terpancing emosi olehnya karena saat itu juga aku sedang bingung memecahkan soal yang sangat sulit bagiku.
                ”Hey! Bisa gak sih serius sedikit, bercanda ada waktunya kok. Dan lo, Dam jangan bikin gue emosi dong!” Bentakku sambil menunjuk kearah Adam.
                “Iya Na. maafin gue ya, gue bakalan serius kok gak ngulangin lagi deh.” Jawab Adam.
Semuanya pun langsung terdiam, dan mulai melanjutkan diskusi tersebut. Aku merasa bersalah dengan ucapanku tadi, secara diam-diam aku memperhatikan Adam yang sedang serius. Dan disitulah aku melihat, sosok Adam yang tadinya bertingkah konyol berubah menjadi serius dan membuat ku semakin terkesan dengannya.
Saat kenaikan kelas dua, aku tidak satu kelas lagi dengannya. Walaupun aku dan Adam tidak satu kelas lagi kita masih berteman dekat. Pertemanan kami dekat tidak hanya saat disekolah saja, aku juga sering chatting dengannya. Entah itu curhat atau membahas pelajaran disekolah, ada saja topik untuk memulai percakapan itu.

                Semakin lama aku mengenal Adam, aku pun makin dekat dengannya. Namun ada rasa yang menurutku tidak biasa ketika aku berteman dengan yang lainnya, semakin hari perasaan itu semakin tumbuh.  Apa aku sedang jatuh cinta dengannya? Anak SMP sudah merasakan jatuh cinta? Apa mungkin? Mungkin saja aku hanya terkesan dengannya sebagai teman. Aku tidak mengerti apa itu cinta. Mulai dari situ aku menganggap perasaan ini hanya perasaan sebagai teman saja, gak lebih. Suatu ketika dipertengahan chatting antara aku dan Adam, Adam memberitahuku saat kenaikan kelas tiga nanti dirinya akan pindah mengikuti orang tua nya yang juga pindah pekerjaan. Disitu aku merasa sedih, bagaimana tidak? Teman laki-laki yang begitu akrab dengaku hanya dia seorang. Namun aku tidak bisa memaksanya untuk menetap disini.
                Aku penasaran kemana dia akan pindah, aku ingin bertanya kepadanya namun timing-nya selalu tidak tepat. Hingga suatu ketika aku bertemu dengannya di sebuah toko buku yang juga sering aku kunjungi untuk membeli komik-komik kesukaan ku.
                “Hey, Dam! Tumben lo ke toko buku?” Tanyaku.
                “Hey, Na. Haha gue lagi nyari buku nih buat belajar.” Jawab nya.
                “Emang buku apa sih yang lo cari?” tanyaku.
                “Buku tentang budaya London, terus gue juga mau nyari kamus buat les private Bahasa Inggris” Jawab nya.
                “Budaya London? Lo pindah ke London?” Tanyaku lagi.
                “Iya, Na. Yah walaupun gue pindah tapi kita masih bisa komunikasi kan?”
                “Iya, Dam bisa kok.” Balasku dengan sedikit senyuman.
                “Yaudah ya gue duluan, Bye.”
 Dan aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
                Ketika aku sampai dirumah aku melihat kalender dan melihat kapan jadwal kenaikan kelas, dan ternyata tinggal satu minggu lagi. Aku pun duduk terdiam didepan kalender dan dengan terburu-buru aku segera ke meja komputerku. Tanpa ragu, aku langsung meng-chat Adam.
“Hey, Dam. Maaf gue ganggu waktu lo, gue cuma mau tanya lo udah nyiapin semua dokumen  kepindahan lo?
Dengan gelisah aku menunggu balasan dari Adam, lalu beberapa menit kemudian Adam membalas chat-ku.
“Iya Na, dokumen buat pindahan udah diurus sama orang tua gue, tinggal nunggu Raport dari sekolah. Oh iya, Na. gue mau ketemu lo setelah pembagian raport, bisa?”
Rasa gelisahku semakin menjadi-jadi, tanpa berpikir panjang aku pun membalas pertanyaan Adam.
“Oh yaudah kalo gitu, gue tunggu di tempat biasa ya.”
                Setelah  pembagian raport, aku pun menunggu Adam ditempat biasa kita bermain bersama. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit Adam pun datang.
                “Hey, Na. Udah lama nunggu ya? Maaf ya tadi ada urusan bentar.” Sapa nya
                “Hay, Dam. Iya gapapa kok, Dam.” Jawab ku.
                “Eh iya ada apa? Ga biasanya lo ngajak gue ketemu kayak gini?´Tanya ku.
                “Iya Na gue  mau bilang sesuatu, jadwal penerbangan gue diganti jadi hari ini. Gue dan orang tua gue juga udah sepakat buat berangkat nanti malam jam 7. Maaf banget ya gue ngasih tau lo mendadak kayak gini. Yak arena lo teman terbaik gue, gue gamau pergi gitu aja tanpa sepengetahuan lo. Dan ini juga terakhir kita ketemu karna gue akan menetap di London 4 sampai 5 tahun disana.” Balas nya.
                “Ngg… I .. Iya gapapa kok Dam. Lo disana sampai 4-5 tahun? Lama juga ya.” Jawab ku
                “Ya begitu lah, oh iya gue ada sesuatu nih biar lo inget gue terus.” Balas nya sambil tersenyum dan memberikanku sebuah boneka teddy bear.
                “Ini buat gue?” jawab ku sambil menerima boneka yang dia berikan kepadaku.
                “Iya karna lo itu teman perempuan gue yang terbaik, eh gue  gak bisa lama-lama gue harus ngurusin barang-barang gue dulu. Daah Diana see you soon.”  Jawab nya
Hanya senyuman dan lambaian tangan, aku melepas kepergian Adam. Air mata ini hampir membasahi pipiku, namun aku masih bisa menahannya.

                Semenjak pertemuan terakhir itu, aku sangat jarang berkomunikasi dengannya karna jadwal dia yang begitu padat dan pada akhir nya aku dengan Adam lost contact. Walaupun begitu aku akan tetap mengingat Adam sebagai teman terbaikku.

Rabu, 10 Februari 2016

Radit

                Setelah lulus SMA aku melanjutkan studiku di salah satu perguruan tinggi swasta di luar kota tepatnya di kota Malang, karena jarak dari rumah ke tempat kampus ku cukup jauh maka aku memutuskan untuk nge-kost disana. Akhirnya liburan semester ganjil tiba, seperti anak rantauan yang merindukan kampung halamannya, aku pun memanfaatkan liburan ini dengan pulang ke rumah, lumayan lah hampir satu setengah bulan aku libur. Saat liburan, hampir setiap hari laptop menjadi teman setiaku. Ya,aku selalu membuka web untuk melihat hasil indeks prestasi semester ku, perasaan pun campur aduk untuk menunggu hasilnya. Setelah keluar hasilnya, Alhamdulillah…. hasil kerja kerasku di semester ini cukup memuaskan.
Hari ini aku berniat untuk pergi ke toko buku, ada salah satu novel  yang ingin aku beli. Saat aku sedang asyik membaca novel tersebut tiba-tiba seseorang dengan suara yang sedikit nge-bass memanggil namaku dan menyentuh pundakku, sontak aku langsung kaget.
“Firdha, kan?” Tanya nya.
“Astagfirullah…..” Seruku.
“Eh, maaf Fir. Gua gak ada maksud buat bikin kaget lu kok hehe maaf ya.”
“Ya ampun… Radit! Huuuhhh… hampir aja gua jantungan, lu bikin gua kaget aja sih.”
Dia adalah Radit, teman SD ku dulu sampai sekarang. Bisa dibilang juga sebagai mantan, karena saat aku SMA aku sempat berpacaran dengannya.
“Hahaha mulai deh lu lebay nya kumat.” Ejek Radit.
“Apaan sih, emang bener kok.”
“Hahaha… gimana kabar lu? Suka kesini juga rupanya?”
“Alhamdulillah kabar baik, enggak juga sih iseng aja kesini ada novel yang mau gua beli. Oh iya, lu gimana kabarnya?”
“Kabar gua baik juga. Lu sendirian aja, cowo lu mana?”
Aku langsung terdiam saat dia menanyakan itu. “Gua udah gak pacaran lagi sama dia.” Jawabku dengan nada rendah.
“Oh gitu toh, pantesan sendirian jomblo sih hahaha.”
Ya itu lah Radit, dari dulu sampai sekarang sifatnya tidak pernah berubah. Tetap menjadi Radit yang ku kenal, Radit yang selalu membuatku tertawa, Radit yang tidak pernah di ayak setiap omongannya  dan Radit yang penuh dengan banyolannya. Setelah aku membayar novel yang ku beli tadi, Radit mengajakku untuk makan bersama dengannya.
“Oh iya, lu gak buru-buru kan? Cari makan dulu yuk, laper nih gua.” Ajak Radit.
“Yeehh… bilang aja lu mau ngobrol lama sama gua hahaha..tapi ayo lah, gua juga laper nih belum makan dari lahir.” Jawabku.
“Hahaha… bisa aja lu. Belum makan dari lahir aja udah seger begini gimana kalo udah makan ya.”
               
Keluar dari toko buku tersebut, kami pun mencari tempat makan disekitar mall itu. Sekitar satu tahun aku tidak bertemu dengan Radit. Meskipun kami sudah putus namun aku dan Radit tetap berteman seperti biasa. Di tempat makan itu, kami mengobrol banyak tentang kesibukan kami sekarang. Dengan diselipkan kata-kata candaannya di setiap obrolan itu, aku pun tertawa mendengarnya. Karena asyiknya bercengkrama, tidak terasa hari sudah semakin sore. Aku memutuskan untuk pulang.
“Udah sore nih Dit, gua pulang ya. Oh iya, ini uang makannya tadi gua ganti.”
“Apaan sih, Fir. Udah simpen lagi.”
“Lho kok gitu, enggak-enggak apaan sih gua gak mau entar yang ada gua kepikiran sampe rumah kalo gua gak bayar makanan gua sendiri.”
“Yeh, dasar anak akuntansi, apa-apa mesti dihitung. Udah gak usah kan gua yang ngajakin lu makan, masa elu yang bayar sih.”
“Mmmmhhh… bener nih? Yaudah makasih ya.”
“Pake segala bilang makasih, kayak sama siapa aja hehe.”
Setelah itu, aku langsung bergegas pulang.
“Oh iya lu pulang sendiri kan? Bareng sama gua aja, kan kita rumahnya searah.” Ajaknya.
“Enggak usah deh, gua pulang sendiri aja gak enak gua sama lu, udah di bayarin makan sekarang mau nganterin gua pulang juga.”
“Masih kaku aja lu, Fir. Emang udah kenal berapa tahun sih lu sama gua. Udah yuk ikut gua!”
               
Radit langsung memegang tanganku, dan kami berjalan menuju tempat parkir. Saat itu cuaca sangat mendung, kami khawatir akan turun hujan maka dari itu kami cepat-cepat untuk pulang. Waktu itu tepat bersama  jamnya orang pulang kerja maka tidak heran kalau jalanan sangat macet. Radit akhirnya memutar arah untuk menghindari kemacetan tersebut.
“Yah, macet lagi lewat jalan pintas aja ya biar gak macet?” Tanya Radit.
“Iya nih, yaudah terserah lu aja karna gua juga sama sekali belum tahu kalo lewat jalan sini.” Jawabku.
Aku benar-benar tidak tahu jalan yang di tempuh Radit itu dimana, maklum aku hanya anak rumahan yang setiap hari kegiatannya hanya ke kampus lalu pulang ke rumah. Pikiranku saat itu semakin was-was kepada Radit, aku takut dibawa ke tempat yang tidak aku inginkan.
“Kita ini lewat mana sih, Dit?” Tanya ku.
“Lewat Galaxy aja, entar tembus nya ke Kemang, terus Narogong, abis itu baru deh sampe ke rumah lu.” Jelas Radit.
               
Saat di perjalan, hujan pun turun. Radit pun langsung meningkatkan kecepatan motornya agar cepat sampai di rumah ku. Aku yang hanya memakai kemeja dan Radit memakai jaket, tidak tega melihatku kehujanan dan basah kuyup. Akhirnya Radit menepi dan melepaskan jaketnya untuk dipakaikan padaku.
“Nih pake jaket gua aja, Fir.”
“Lho, terus lu pake apa masa cuma pake kaos doang? Emang lu gak bawa jas ujan?”
“Lupa gua jas ujannya gak kebawa. Santai aja gak usah mikirin gua, yang penting lu sampe rumah gak basah kuyup.”
Akhirnya aku memakai jaket yang diberikan oleh Radit padaku, kami langsung meneruskan perjalanan. Hujan pun semakin lebat, aku kasihan melihat Radit yang mengendarai motor dengan keadaan yang sudah basah kuyup karena terguyurnya hujan.
“Dit, kita neduh dulu yuk kasihan lu udah basah kuyup kayak gitu entar yang ada lu sakit aja.” Rayuku.
“Ini hujannya awet Fir, lu mau kalo kita neduh nunggu hujannya reda terus pas pulang ke rumah sampe jam Sembilan malem?” Bantah Radit.
“Enggak sih, tapi gua gak mau lu malah hujan-hujanan kayak gini.”
“Udah gua gapapa, ini udah jadi makanan sehari-hari gua. Yang harus dipikirin itu elu Fir, gua gak mau lu pulang kerumah dengan keadaan yang basah kuyup.”
                Saat itu aku kaget dengar ucapan Radit seperti itu, dia masih memikirkan keadaanku agar aku selamat sampai rumah dan dia rela hujan-hujanan demi aku. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Entah apa yang kurasakan saat itu, aku merasa aman saat bersamanya. Apa rasa cinta ini tumbuh kembali? Tidak, kami hanya berteman mungkin ini hanya rasa nyamanku berteman dengannya. Lagi pula mana mungkin dia mencintaiku, mungkin dia sangat peduli denganku hanya sebatas teman, tidak lebih. Jangan terlalu berpikir terlalu jauh, Fir. Akhirnya dia mengantarkanku sampai depan rumah, saat aku menawarkan untuk singgah dulu dirumahku, dia menolak karena hari sudah semakin malam.
                Aku masih memikirkan sifat Radit kepadaku tadi. Aku langsung BBM Radit, memastikan kalau dia sudah sampai rumah dengan selamat. Dan balasannya hanya seperlunya saja, dia juga tidak menanyakan keadaanku. Hmmmm… terlalu jauh aku mengambil kesimpulan, benar kan? Ternyata Radit hanya menganggapku sebagai teman, tidak lebih.
Created by Popy Tasya Rahayu

Sabtu, 28 Juni 2014

Kawan Lama

Sore hari ..... aku lelah menyiram halaman yang luas. Ternyata, ngurus taman itu nggak gampang. Aku sekarang tahu, pekerjaan Pak Mul itu nggak gampang. Melelahkan.
            Aku udah nggak mikirin itu lagi. Bersandar di sofa, terus ...... lesss. Aku tertidur, dan baru sadar saat dibangunin seseorang.
            “Si ....! Masa tidur dikursi? Pindah ke kamar gih!” katanya halus sekali. Mulanya kupikir Bi Tinah, tapi suaranya jadi lain. Aku membuka mata.
            Seseorang yang nggak kukenal tersenyum padaku. Tapi kok, dia mengenalku?
            “Siapa ya? Kalo nyari Papa atau Mama nggak ada. Lagi ke undangan.” Jawabku setengah takut.
            Dia tersenyum lagi.
            “Si, kamu sama sekali nggak mengenali aku?” tanya dia lagi.
            Aku berpikir keras untuk mengenalinya. Tapi, tetap saja aku nggak mengenalinya.
            Dia tertawa keras. “Sisi yang udah pikun atau aku yang udah kelewat banyak berubah, ya?” tanyanya lagi. “Ingat Fikri, kan? Ini Fikri!”
            Aku menepuk jidatku. “Ya ampun! Ini Fikri? Kamu udah segini gagahnya, Fik? Aku sampe pangling.” Kataku pelan. Nggak nyangka akan bertemu lagi sama tetangga sebelah di Lombok, yang belasan tahun lalu pernah akrab denganku. Sampai aku berumur 11 tahun, aku harus pindah ke Jawa untuk mengikuti orang tua. Sejak itu, aku nggak pernah ketemu Fikri yang dua tahun lebih tua dariku. Semenjak itu, aku nggak pernah kirim kabar.
            “Heh, malah ngelamun. Kenapa sih, kamu?” tanyanya memutuskan lamunanku.
            “Oh, ya. Aku benar-benar pangling. Kok kamu masih mengenaliku, apa wajahku nggak berubah, Fik?”
            “Berubah, tapi wajah kamu tetep sipit. Kayak dulu!” serunya.
            “Ya, gini-gini masih bisa lihat apa aja, kan?” kataku. “Gimana kabarnya Lombok?”
            “Nggak tahu, Si. Aku juga pindah sebulan setelah kamu pindah. Sekarang kamu kelas dua SMA, ya?” tanyanya.
            “Kok, kamu tahu, Fik?”
            “Tahu dong. Kan tadi aku ngitung.”
            “Sialan, kamu.” Seruku sambil menjitak kepalanya.
            “Kamu masih ingat kesukaan kita, kan?” tanyanya dengan memandangku lurus.
            Aku merasa nggak enak dipandang seperti itu. Apalagi dia ngucapin kata “Kita” dengan nada seperti itu.
            “Oh ya. Tentu. Kamu mau minum es jeruk? Sebentar ya aku ambilkan.” Kataku lalu meninggalkan Fikri.
            Nggak lama kemudian, Bi Tinah datang membawa segelas es jeruk.
            “Silakan, Fik! Sorry, Fik aku lagi flu jadi nggak minum es.”
            “Thanks!” katanya sambil meminum seteguk.
            “Nanti malam kamu ada acara nggak, Si? Mau kan, nemenin aku jalan-jalan melihat kotamu?”
            “Oh, ya? Berapa hari kamu akan tinggal di Klaten? Kamu dari Lombok pindah kemana?”
            “Ke Jakarta. Di Klaten aku cuma dua minggu. Dirumah Om ku.” Jelasnya.
            “Wah, lama juga kalo gitu.”
            “Kamu nggak suka ya kalo aku lama disini?”
            Aku heran juga. “Oh, nggak gitu. Maksudku, berarti cukup waktu untuk melihat sudut di Klaten. Kamu pikir, Klaten itu sempit?”
            “Kupikir, kamu nggak mau nemenin aku. Kan bisa aja, apalagi kalo pacar kamu ngelarang.”
            “Ya, nggak dong. Kamu kan  sahabat aku. Lagian nggak setiap hari bisa ketemu, kan?” tanyaku.
            “Nanti jalan-jalan mau?” tanyanya lagi.
            “Nanti?” tanyaku nggak percaya. “Oke, tapi kita tunggu Papa dan Mama dulu. Lagian juga aku belum mandi.”
            “Yaudah cepetan, mandi sana!” serunya.
            “Terus , kamu?”
            “Biar aku tunggu disini aja.”
            “Mendingan kamu main Game atau baca-baca. Yuk! Aku tunjukkin tempatnya.” Kataku terus mendahului pergi.
            Dia mengikutiku, kebetulan dia mau. Kalo nggak? Terus, Dion datang dan Fikri cerita yang nggak-nggak bisa kacau.
            “Kutinggal dulu, ya?” kataku.
            Dia tersenyum lagi.
            Kenangan belasan tahun yang lalu sebenarnya masih tersimpan dalam hatiku. Pulang pergi sekolah dibonceng, Fikri. Terus nyari ikan bareng. Sampai-sampai Fikri marah-marah kalo aku nangis karena ikanku diambil oleh anak lain. Fikri juga yang ngelindungin, kalo aku diusilin anak-anak cowok. padahal, dia itu jelek dan dekil. nggak nyangka deh kalo sekarang dia ada disini. gagah dan lebih ganteng. Pasti Dion nggak percaya kalo dia itu sahabatku.

                                                                                                                                                                                         *         

“Halo, Assalamu’alaikum, Dion?”
Wa’alaikumsalam,kenapa , Si?” tanyanya langsung to the point.
“Emm, nanti kamu nggak usah kerumah ya, Yon. Aku mau jalan-jalan sama sahabat aku. Boleh, kan?”
Why not? Aku juga lagi sibuk buat makalah. Terus .... ada lagi?”
Hah! Aku seperti tersentak. Nggak biasanya Dion kayak gitu!
“Si, kamu masih disitu, kan?” teriaknya.
“Ya. Gitu aja deh, Yon!”
Klik. Aku meletakkan handphone-ku ragu-ragu. Kayaknya ada yang nggak beres sama Dion. Tapi, Dion kan bilang kalo dia lagi sibuk ngerjain makalah? Biasanya kan, dia paling nggak suka diganggu kalo lagi ngerjain begituan? Entahlah .....

                                                                                                                                                                                         *          

            Malamnya, aku jalan-jalan dengan Fikri. Cerita-ceritanya yang kocak, membuatku lupa dengan Dion. Fikri tetap Fikri yang kukenal dulu.
            “Eh, lihat, Si!” serunya.
            Aku menoleh. “Apa?” tanyaku heran.
            “nggak apa-apa.”
            “Jayus, ah!”
            “Emang!” jawabnya dengan santai. Dan malam itu, aku bawa sekeranjang penuh berisi buah-buahan. Hari-hari berlalu. Fikri bersamaku hampir dua minggu. Dia bisa mengikuti setiap kegiatan dirumahku. Bisa mengimbangi Papa main tennis dan catur, juga menyenangi hati Mama dengan  menemaninya mengatur taman dan membawakan bunga sedap malam kesukaan Mama yang belum ada di taman.
            Fikri udah merebut hati Papa dan Mama. Dan juga merebut hatikukah? Dengan canda dan perhatiannya yang nyaris tidak pernah kudapatkan dari Dion.
            Semua itu membuatku mau tak mau membandingkan Fikri dengan Dion. Fikri ramah, ceria, enerjik, dan memperlakukanku bagai putri raja. Dia bisa membawa diri, terutama merebut hati Papa dan Mama.
            Sedangkan Dion? Dia pendiam. Nggak begitu ramah dan sulit untuk membiasakan diri. Dia nggak suka basket. Dia nggak suka jalan-jalan. Hari-harinya Cuma habis bercumbu dengan komputer, buku-buku, penelitian-penelitian yang membuat namanya berkibar dibidang penelitian ilmiah.
            Bahkan selama ini, Dion nggak pernah mengatakan cinta padaku. Aku hanya tahu kalo dia mencintaiku dengan menunjukkan sikapnya. Dia nggak pernah melirik gadis lain. Bahkan dia bertanya dulu apakah aku setuju jika dia ikut perlombaan diluar kota. Apakah ini bukan sikap yang manis? Bukankah dulu aku menyukainya karena semua itu? Karena dia nggak mau berhura-hura dan memamerkan kekayaan orangtuanya?
            Ah, kenapa kini, hampir dua minggu Dion nggak pernah menghubungi aku?
            Aku benar0benar bingung dan gelisah.kemarin Fikri mengatakan tentang persaannya kepadaku yang lebih dari seorang sahabat. Dia juga memintaku untuk menjawabnya sebelum dia pulang ke Jakarta.
            Apalagi, Mama yang sudah memberi lampu hijau kalo aku jalan dengan Fikri. “Mama tahu kalo kamu udah sama Dion. Tapi, Mama juga tahu kalo kamu lebih suka sama Fikri. Hari-hari kamu juga ceria. Dia juga lebih menyenangkan.” Kata Mama.
            Aku diam saja. Namun, kebingunganku membawaku kerumah Dion.
Seperti biasa, Dion lagi mencuci mobilnya di halaman setiap minggu. Saking asyiknya, dia nggak menyadari kehadiranku.
            “Lho, Si?” tanyanya sambil menjajariku duduk. “Ada masalah apa?”
            “Aku lagi bingung.” Jawabku ragu-ragu.
            “Soal Fikri?” tanyanya tanpa emosi.
            Aku terbelalak. “Kamu udah tahu, Yon?”
            “Lho, bukankah temanmu temanku juga, Si? Aku dikasih tau Chintya.” Katanya pelan. Tapi aku merasakan kecemburuannya.
            “Kamu sayang dia, Si? Aku nggak apa-apa kok, kalo kamu milih dia. Aku sayang kamu, Si. Dan itu sungguhan, tapi kalo itu malah ganggu kamu, aku harus gimana lagi? Aku memang gini, nggak bisa beramah tamah dengan sekelilingku. Padahal aku pengen banget. Tapi sulit!”
            “Aku .... aku ....” kata-kataku seperti tersangkut ditenggorokkan.
            Kemudian, kuputuskan untuk kepada siapa aku menjatuhkan pilihan. Kuputuskan untuk menceritakan semuanya kepada Dion, termasuk hatiku yang terganggu dengan kehadiran Fikri. Air mataku nyaris tumpah, tapi Dion membiarkan begitu saja.
            “Maafkan aku, Si. Aku emang nggak bisa seperti itu. Tapi, aku akan mencobanya demi kamu.” Katanya sambil menatapku.
            Aku menenggakkan kepala.
            “Nggak usah, Yon. Aku mengenalmu seperti ini. Aku yakin kamu lebih baik jadi diri sendiri, daripada terpaksa.”
            “Kamu pikir, aku nggak bisa berubah, Si?” tanyanya cepat.
            Aku diam.
            “Aku antar kamu pulang, ya?”
            “Aku bawa motor.” Jawabku.
            “Ooohh ... hati-hati kalo gitu. Atau kamu masih mau disini? Oh ya, sori. Waktu kamu nelpon, aku kasar banget. Soalnya waktu itu Bu Dian lagi ngasih pengarahan ilmiah, terus kamu nelpon. Buayar aku deh, semua konsentrasiku.” Jelasnya.
            Aku hanya tersenyum.

                                                                                                                                                                                         *          

“Jadi, aku ditolak, nih?” tanay Fikri setelah mendengar jawabanku. Rasanya memang sulit kalo harus ngecewain orang terdekat.
“Bukan gitu, Fik. Aku tetap jadi sahabat kamu. Bukankah sahabat itu kata yang manis, Fik?”
Fikri tersenyum pelan. “Aku terlambat?”
“Kamu akan mendapatkan yang lebih baik dariku.” Aku mencoba menghiburnya.
“Well, well, kayaknya sulit, tuh!”
“Kamu aja yang pilih-pilih!” seruku setengah tertawa.
“Masalah seserius ini kamu anggap lelucon?!” serunya. “Tapi, oke deh. Kamu tetap adikku, kan? Besok, aku balik ke Jakarta. Kamu mau jalan-jalan lagi?” tanyanya seperti nggak ada lagi kecewa yang dia simpan.
Fikri memang begitu. Kadang dia tertawa saat hatinya sedang duka, kadang dia menangis kala hatinya sedang bahagia.
“Nggak.” Kataku. “Kamu harus pulang. Ini malam minggu.”
“Oke, jaga diri baik-naik ya!” katanya terus berpamitan.
Aku mengantarnya. Tetapi .... masih didepan pintu, sosok bayangan muncul dihadapanku. Dion.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku nyaris nggak bisa berkata apa-apa. Dan aku hampir nggak bisa mempercayainya.
“Halo Fikri, udah mau balik, nih? Kapan pulang ke Jakarta?” tanya Dion ramah.
“Oh hay, Yon! Besok gue cabut ke Jakarta. Jaga ade gua baik-baik, ya! Jitak aja kalo nakal.” Seru Fikri.
“Kalian mempermainkan aku?!” teriakku keras.
“Hahaha, kamu jangan keliru! Tanya aja sama Dion semuanya.” Kata Fikri tanpa menghiraukan aku dan terus meninggalkan aku.
“Kamu jahat! Kamu jelek! Judes! Suka bohongin orang!” kataku sambil memukul-mukul punggung Dion.
“Denger dulu,” seru Dion masih dengan tawanya.
“Alaaahh, kamu tukang bohong!”
“Nggak, kemarin aku kerumah Fikri, terus ngomong baik-baik. Akhirnya keputusannya nunggu kamu. Tadi berarti ....”

Aku hanya bengong sendiri .....

Created by Popy Tasya Rahayu

Sosok di Masa Lalu

Kelas XI IPA-2
Murid baru. Kelas berisik banget. Suara suit-suitan terdengar ramai. Apalagi setelah tahu murid baru itu cewek, cakep lagi! Pantes aja kalo mulut-mulut usil makin banyak.
            Namanya Aini, dia pindahan dari Bandung. Terus masih banyak lagi yang dikatakannya. Dia juga senang hati menjawab pertanyaan dan gurauan dari teman-teman barunya. Mengesankan banget kalo dia cewek yang berwawasan luas.
            Kalo semua cowok mencoba mencari perhatian Aini, Gilang malah cuek dan nggak menggubris. Dia acuhin aja si Mojang Pariangan itu.
            “Oh, ya. Dari tadi saya sudah bercerita banyak. Sekarang gantian dong, yang cerita. Siapa yang mau?” tanya Aini.
            Tapi semua pada ogah untuk bercerita. Penghuni IPA-2 hanya mau ngenalin namanya masing-masing.
            “Lho, yang duduk didepan itu namanya siapa?” tanya Aini sambil tersenyum manis.
            “Liat aja buku absensi nomor tiga belas!” katanya terus keluar.
            “Yee, lo kok ketus gitu sih, Lang?! Gak baik!” seru Bintang. Tapi Gilang cuma mencibir.
            Usai kenalan, Pak Jupri langsung bicara,
            “Baiklah itu tadi teman baru kalian. Kalo masih belum puas, bisa dilanjutkan nanti waktu istirahat.”
            “Yaa, Bapak...., “ kata Agas kecewa.
            Semua tertawa.
            “Oh ya, Aini, kalo nanti menemukan kesulitan dalam pelajaran, bisa menemukan bantuan pada Gilang atau Sandra. Mereka siswa terbaik disini.” Kata Pak Jupri sambil promosi.
            “Huuu ..... minta aku aja, Ni. Keenakan Gilang kalo gitu. Bener nggak, coy!” teriak Andre yang memang paling seneng godain cewek cantik.
            Gilang udah balik lagi ke kelas. Mendengar semuanya, dia hanya diam. Sepertinya, dia memang sengaja menjaga jarak sama Aini.

                                                                                                                                                                                         *          

“Gilang, aku boleh minta tolong, nggak? Soal yang ini gimana sih, susah banget?” tanya Aini suatu hari.
“Oh maaf, Ni. Gua ada urusan ke ruang guru. Minta ajarin Sandra aja, ya?” katanya terus pergi keluar.
Aini tidak bisa memaksa.
Di waktu yang lain, Gilang juga menolak permintaan Aini ngajarin satu soal matematika.
“Sorry, Ni. Bukannya gua nggak mau bantu, tapi bener deh, gua harus pulang cepet hari ini. Nyokap gua lagi sakit.” Kata Gilang.
Gilang memang sengaja menghindar. Dia nggak mau berteman sama Aini. Aini sendiri juga nggak habis pikir, kenapa Gilang seolah begitu membencinya. Seolah Ainin menemukan sesuatu yang disembunyikan Gilang tiap kali dia menatap mata Gilang.
Di rumah, Gilang begitu kesal. Kesal sekaligus marah. Kemarahan, kebencian, luka yang hampir kering, kini mencuat lagi. Mengapa luka ini melebar dan menyakitkan sejak Aini hadir?
Gilang mengeluh pelan dalam hati. Sebenarnya, dia nggak berhak memperlakukan Aini seperti itu. Aini nggak bersalah. Tetapi luka ini, kenapa harus menganga lagi?
“Gilang, sorry ya, kalo selama ini aku mengganggu kamu terus. Tapi, untuk kali ini aku minta bantuan kamu untuk ngajarin pe-er kimia. Boleh minta alamat kamu? Nanti biar aku yang kesana. Terserah kapan kamu ada waktunya.” Kata Aini menjajari langkah Gilang.
“Tapi, Ni.” Kata Gilang tersendat.
Please, Lang. Kali ini aja.” Kata Aini memohon. Gilang diam sejenak. “Baiklah, rumah gua di Jalan Cempedak 5. Gua tunggu jam empat sore.”
“Oke, nanti aku kesana.” Kata Aini senang.
Dirumah Gilang langsung mengerjakan pe-er nya. Tapi sengaja hanya dibuat satu yang betul dari kelima soal itu. Dia nggak ingin mengingat semuanya....
Begitu Aini datang kerumahnya, Gilang sudah siap dengan alasannnya lagi.
“Aini, ini bukunya, lo bawa pulang aja. Atau lo ngerjain disini juga nggak apa-apa, tapi gua nggak bisa nemenin lo, soalnya barusan dapet telepon, gua harus nemenin Om Danu.”
Aini nggak bisa ngomong apa-apa, dia hanya memandang Gilang. Bukannya Gilang nggak tahu, tapi dia hanya pura-pura nggak tahu.
“Baiklah, aku pulang dulu. Bukunya aku bawa, besok aku balikin dikelas.” Kata Aini pelan, dan langsung pulang.
Gilang nganterin Aini sampai depan pagar, sambil tertawa dalam hati. Gilang membayangkan betapa besok lusa kelasnya akan heboh. Gilang Satya Wiratmaja, si bintang pelajar mendapat nilai dua untuk pelajaran kimia. Dan Aini, kasihan sekali dikerjain. Tapi, Gilang nggak peduli.
“Lang, bukunya udah aku kumpulin. Kamu memnag pintar. Pantas saja disebut bintang pelajar.”
“Thanks.” Katanya tipis. Tapi, dalam hati dia berkata. Dasar anak bodoh!
Gilang siapa-siap menerima kekagetan gurunya. Gilang dapat nilai dua? Gilang ngebayangin hal itu. Dia pun menyiapkan argumennya.
“Anak-anak, kalian sudah menangkap pelajaran dengan baik. Pe-er kalian cukup bagus. Gilang sama Aini dapat nilai seratus. Rupanya pemikiran mereka hampir sama. Kalian patut menirunya.” Kata Pak Iqbal, selaku guru kimia.
“Hah?” Gilang nyaris tak percaya.
“Kenapa sih, lo?” tanya Dion. “Lo dapet nilai seratus kan udah biasa, Lang.”
Gilang nggak bersuara, kini perhatiannya nggak lepas dari cewek yang bernama Aini. Kalo dia bisa ngerjain soal itu dengan benar, pasti dulu dia juga murid yang pintar disekolahnya. Lantas, kenapa dia sering ngejar gua buat ngajarin? Menunjukkan siapa dirinya? Atau sebenernya mau menguji kemampuan gua?

Istirahat ...
“Aini, kenapa lo ngebenerin semua pe-er gua?” tanya Gilang.
“Ah, Cuma gitu aja. Aku cuma nggak betah aja ngeliat pekerjaan yang salah. Sebenernya, aku mau belajar sama kamu. Tuker pikiran, terutama pada pelajaran Matematika. Siapa tahu dapet kesiapan buat ngadepin Olimpiade Matematika di Singapura nanti.” Kata Aini tanpa sadar. “Oh, maksudku, Cuma pengen belajar bareng.” Ralatnya buru-buru.
“Olimpiade Matematika?” tanya Gilang.
Aini ngerasa nggak enak.
“Nggak kok, Lang” kata Aini meralat.
Meskipun begitu, kini Gilang nggak bisa menganggap Aini sembarangan. Dulu aja dirinya nggak lolos. Kalau Aini bisa, berarti Aini temen juga rival yang nggak bisa dianggap enteng.
“Oh, ya, Ni. Thanks ya, tugas gua udah lo kerjain. Soalnya, gua emang kurang teliti.” Kata Gilang akhirnya.
Aini tersenyum manis.
“Kalo boleh tahu, kamu kenapa seperti menghindar dari aku?” tanya Aini pelan.
Gilang menatap Aini sekilas. Desir-desir halus menyentuh keheningan nuraninya. Dia nggak tahu, apa itu milik Tasya, gadis yang mengkhianatinya, ataukah milik Aini?
“Panjang ceritanya, Ni.” Kata Gilang pelan “Dulu gua punya cewek. Muka dan rupanya nyaris mirip sama lo. Gua sayang banget sama dia. Tapi, dia ninggalin gua dengan alasan yang dibuat-buat. Terus terang, gua sakit hati sampe sekarang. Dia pikir gua ini apa, Ni? Padahal, dulunya dia itu kayak lo, ngejar-ngejar gua dengan cara minta diajarin belajar. Huh, gua nggak bisa ngilangin rasa sakit hati gua. Makanya, waktu lo hadir, luka itu kayak menganga lagi. Gua jadi benci sama lo. Gua jadi males deket-deket sama lo, soalnya gua nggak mau nginget-inget lagi. Tapi sekarang gua sadar, kok. Lo bukan dia, walaupun kalian mirip satu sama lain.” Cerita Gilang panjang lebar.
Aini, menatap Gilang. Sekarang dia tahu kenapa. Dia juga nggak bisa nyalahin Gilang. Toh, itu urusannya sendiri.
“Nyatanya, aku nggak seperti itu kan, Lang?” tanya Aini.
“Nggak, gua salah sama lo.” Kata Gilang pelan.
“Nggak juga. Malah sekarang kita bisa belajar bareng buat ngasih yang terbaik buat sekolah kita, kan?!” tantang Aini.
“Lo beneran, Ni?” tanya Gilang.
Aini mengangguk pasti.
“Yaaap ....” Gilang tersenyum lepas.
Aini pun tersenyum. Mereka berjalan beriringan menuju kelas. Sesekali, mereka bertatapan dan tersenyum.

Dihati Gilang, bersemi sejuta angan. Akankah gua memiliki cinta Aini? Ataukah akan berakhir seperti cinta gua dengan Tasya? Meninggalkan gua setelah memberikan cintanya? Entahlah .....

Created by Popy Tasya Rahayu

Senin, 23 Juni 2014

Setangkai Edelweis

“Pops, Pops ... aku pinjem bukunya!” Kata Ryan dihadapan Natasha, Gilang, dan Lala. Gilang terus menyela. “Wah,wah...sekarang dia manggilnya Pops,” kata Gilang menggoda. Entah karena apa, Ryan si ketua OSIS itu cuma memandangku sejurus. Aku pun memandangnya sejurus, enggak ada yang lain memang. Namun.... panggilan itu sanggup membuat mataku terasa pedih.
“Eh, iya. Iya, Yan. Sorry aku lupa.” Kataku buru-buru dan memberikan buku sejarah yang kubawa. Lala malah tertawa bareng Gilang dan Natasha.
“Yang pinjem aneh banget ya, kagak biasanya.” Seru Natasha masih dengan tawanya.
Aku ikut tersenyum.
Bel tanda pulang berbunyi sejak tadi, tapi aku masih belum ingin beranjak dari bangkuku. Sampai akhirnya aku harus pergi ketika Mas Yanto, office boy disekolah menyuruhku untuk segera meninggalkan kelas yang akan dibersihkannya. Aku tersenyum sambil meninggalkan kelas.
“Pops...! Pops...!”
Menggema lagi panggilan Ryan padaku. Ah ..., sendu sekali suara itu kudengar. Bagai dari alam jauh yang senantiasa bergema dengan renunganku. Panggilan seseorang yang sudah lama hilang dalam kalbuku. Dan aku menyukai panggilan itu.
Ah .... andai saja waktu bisa kubalik, pasti aku akan minta Tuhan membalik lembaran hitam yang pernah terjadi dua tahun silam. Kalau saja aku turut dalam tragedi itu, mungkin sekarang aku tak kembali mengenang kepedihan ini.
Bayang-bayang yang hampir sirna dari anganku, kini mencuat kembali. Ceria senyumnya. Tatapannya yang lembut dan penuh kasih. Candanya yang kocak dan kebandelan-kebandelannya yang masih ngangenin. Ah .... serasa baru kemarin aku mendengarnya. Semua yang lekat dalam anganku. Sementara waktu bukan lagi berselang satu hari. Semuanya sudah berlalu dua tahun yang lalu. Oh, betapa cepatnya waktu meninggalkanku.
Sebagai anggota pecinta alam, dia cukup handal. Pengalamannya di arena penjelajah, lintas alam, naik turun gunung sudah banyak. Sering juga aku mengikutinya kalau sekolah libur. Mungkin itu juga sebabnya aku tertarik menjadi pecinta alam. Dia pun sering bepergian. Tapi di manapun tempatnya, dia selalu nyempetin untuk menghubungiku. Ya, memang kadang-kadang aku suka mengkhawatirkan keselamatannya.
Hari itu ... semuanya masih lekat dalam ingatanku.
“Pops, aku dengan tim akan menjelajah Gunung Gede,” katanya malam itu.
“Oh, ya? Kapan?” tanyaku biasa. Entahlah saat itu aku tak berminat mendengarkan ceritanya.
“Hey, Popy. Kamu kenapa? Dari tadi kamu ogah-ogahan gitu, sih? Memangnya Mas Raka punya salah apa sama kamu?” tanyanya sambil mendekat.
Aku menggeleng. “Enggak apa-apa. Mas Raka kapan mau ke Gunung Gede?”
“Besok Sabtu pagi. Kamu mau ikut? Sekolah lagi libur, kan?” tanyanya kemudian.
“Wah, mendadak banget, Mas Raka. Aku gak bisa kalo Sabtu. Apa Mas Raka harus ikut dalam pendakian kali ini? Rasanya Popy gak sreg kalo Mas Raka ikut dalam pendakian kali ini.” Kataku ragu-ragu.
“Ah, tentu saja gak bisa, Pops! Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Enggak enak, kan kalo ketuanya ngundurin diri. Lagian aku udah lama pengen kesana, Pops.”
“Tapi rasanya enggak sreg, Mas Rak. Bener deh, perasaan Popy enggak enak. Mas Raka batalin aja!” seruku agak keras.
“Kamu gila, Popy!” serunya pun agak keras.
Aku hanya terdiam.
“Maaf, bukan aku mau ngebentak kamu. Tapi pikir dong, pake rasio! Persiapannya enggak cukup sehari dua hari. Sudah repot waktu, minta izin kesana-sini, eh sekarang dibatalin gitu aja. Ah, itu bener-bener pekerjaan yang percuma.”
“Jadi, Mas Raka tetep mau berangkat?” tanyaku.
“Yaa... “ jawabnya ragu-ragu.
“Kalo Popy enggak ngizinin?”
Please.... jangan buat semuanya jadi kacau!”
Aku diam membisu. Membiarkan dirinya berpikir.
“Pops, Mas Raka harus berangkat. Kamu enggak keberatan, kan? Popy tau kan ini udah jadi impian Mas Raka dari dulu. Jadi.... kenapa Popy masih enggak ngizinin segala?”
Mata bening dengan bola matanya yang cokelat itu menatapku. Dengan kesungguhan ada dimata itu. Dan aku tidak ingin melihat mata itu kecewa. Aku enggak ingin melihatnya.
“Boleh, kan Pops? Ayo!” katanya setengah membujuk.
“Iya deh. Tapi pulangnya bawa edelweis, ya?”
Dia mengangguk mantap. “Thanks a lot” ujarnya dengan tawa lepas.
Keesokan harinya, Mas Raka benar-benar berangkat bareng teman-temannya. Aku hanya mengantarkannya sampai stasiun.
Sebenarnya bukan maksudku menuntut setangkai bunga edelweis. Aku hanya ingin dia tetap mengingatku meskipun enggak pulang kerumah. Kupikir dengan permintaanku dia akan selalu ingat denganku. Rasanya, aku ikut berdosa pada Mas Raka. Begitu besar rasa kasihnya padaku. Demi setangkai edelweis, dia rela mengorbankan dirinya. Ya, tebing terjal itu tega menghempaskan dirinya. Mas Raka meninggal dengan setangkai bunga edelweis ditangannya.
Aku sering menyesal kenapa harus bunga edelweis? Tetapi, siapa yang bisa menduga jalannya takdir? Mungkin kalo aku beri tau secara langsung dan terus terang, aku pun akan menerimanya walaupun berat. Kutangisi pun, Mas Raka enggak akan kembali.
Tetapi yang mebuatku serasa hampir gila adalah ulah keluargaku dan keluarga Mas Raka. Mereka sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka dariku. Aku tak sempat melihat wajahnya untuk terakhir kali. Bahkan aku enggak hadir saat pemakamannya.
Dan, aku tau segalanya setelah Mas Andi, sahabat Mas Raka kupaksa ngomong semuanya. Karena hampir sebulan Mas Raka enggak pernah muncul, dan juga selalu enggak ada kalo kuhubungi ke rumahnya. Padahal, temen-temennya udah pada pulang. Sepertinya, mereka semua sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka. Keterlaluan memang. Namun, itu karena mereka menyayangiku. Mungkin mereka enggak tega melihatku terlalu berduka.
Sampai kini, aku enggak sanggup untuk mencari penggantinya. Mungkin benar kata pepatah, “First love never die”. Nyatanya, sampai sekarang aku enggak pernah bisa melupakan segala kenangan tentang Mas Raka. Terlebih karena rasa bersalahku karena permintaan setangkai edelweis. Mungkin kalo aku enggak minta, tragedi itu enggak akan terjadi. Aku enggak akan mengenangnya seperti ini, karena mungkin kini dia lagi bercanda denganku.
Ah .... ternyata itu hanya lamunanku. Kutatap pusara yang bertuliskan namanya. Aku menatap lurus kebawah, seolah pandanganku menembus hingga tanah pembatas. Kulihat disana Mas Raka seperti tersenyum melihatku. Seolah dia mengerti kata hatiku yang paling dalam dan memaafkan kesalahanku dengan senyum tulusnya.

Hanya Tuhan yang tau kalau aku tidak ingin perpisahan ini terjadi. Bunga kamboja jatuh satu per satu. Selamat tinggal Mas Raka.... aku akan selalu mendoakanmu.


Created by Popy Tasya Rahayu