Translate

Senin, 23 Juni 2014

Setangkai Edelweis

“Pops, Pops ... aku pinjem bukunya!” Kata Ryan dihadapan Natasha, Gilang, dan Lala. Gilang terus menyela. “Wah,wah...sekarang dia manggilnya Pops,” kata Gilang menggoda. Entah karena apa, Ryan si ketua OSIS itu cuma memandangku sejurus. Aku pun memandangnya sejurus, enggak ada yang lain memang. Namun.... panggilan itu sanggup membuat mataku terasa pedih.
“Eh, iya. Iya, Yan. Sorry aku lupa.” Kataku buru-buru dan memberikan buku sejarah yang kubawa. Lala malah tertawa bareng Gilang dan Natasha.
“Yang pinjem aneh banget ya, kagak biasanya.” Seru Natasha masih dengan tawanya.
Aku ikut tersenyum.
Bel tanda pulang berbunyi sejak tadi, tapi aku masih belum ingin beranjak dari bangkuku. Sampai akhirnya aku harus pergi ketika Mas Yanto, office boy disekolah menyuruhku untuk segera meninggalkan kelas yang akan dibersihkannya. Aku tersenyum sambil meninggalkan kelas.
“Pops...! Pops...!”
Menggema lagi panggilan Ryan padaku. Ah ..., sendu sekali suara itu kudengar. Bagai dari alam jauh yang senantiasa bergema dengan renunganku. Panggilan seseorang yang sudah lama hilang dalam kalbuku. Dan aku menyukai panggilan itu.
Ah .... andai saja waktu bisa kubalik, pasti aku akan minta Tuhan membalik lembaran hitam yang pernah terjadi dua tahun silam. Kalau saja aku turut dalam tragedi itu, mungkin sekarang aku tak kembali mengenang kepedihan ini.
Bayang-bayang yang hampir sirna dari anganku, kini mencuat kembali. Ceria senyumnya. Tatapannya yang lembut dan penuh kasih. Candanya yang kocak dan kebandelan-kebandelannya yang masih ngangenin. Ah .... serasa baru kemarin aku mendengarnya. Semua yang lekat dalam anganku. Sementara waktu bukan lagi berselang satu hari. Semuanya sudah berlalu dua tahun yang lalu. Oh, betapa cepatnya waktu meninggalkanku.
Sebagai anggota pecinta alam, dia cukup handal. Pengalamannya di arena penjelajah, lintas alam, naik turun gunung sudah banyak. Sering juga aku mengikutinya kalau sekolah libur. Mungkin itu juga sebabnya aku tertarik menjadi pecinta alam. Dia pun sering bepergian. Tapi di manapun tempatnya, dia selalu nyempetin untuk menghubungiku. Ya, memang kadang-kadang aku suka mengkhawatirkan keselamatannya.
Hari itu ... semuanya masih lekat dalam ingatanku.
“Pops, aku dengan tim akan menjelajah Gunung Gede,” katanya malam itu.
“Oh, ya? Kapan?” tanyaku biasa. Entahlah saat itu aku tak berminat mendengarkan ceritanya.
“Hey, Popy. Kamu kenapa? Dari tadi kamu ogah-ogahan gitu, sih? Memangnya Mas Raka punya salah apa sama kamu?” tanyanya sambil mendekat.
Aku menggeleng. “Enggak apa-apa. Mas Raka kapan mau ke Gunung Gede?”
“Besok Sabtu pagi. Kamu mau ikut? Sekolah lagi libur, kan?” tanyanya kemudian.
“Wah, mendadak banget, Mas Raka. Aku gak bisa kalo Sabtu. Apa Mas Raka harus ikut dalam pendakian kali ini? Rasanya Popy gak sreg kalo Mas Raka ikut dalam pendakian kali ini.” Kataku ragu-ragu.
“Ah, tentu saja gak bisa, Pops! Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Enggak enak, kan kalo ketuanya ngundurin diri. Lagian aku udah lama pengen kesana, Pops.”
“Tapi rasanya enggak sreg, Mas Rak. Bener deh, perasaan Popy enggak enak. Mas Raka batalin aja!” seruku agak keras.
“Kamu gila, Popy!” serunya pun agak keras.
Aku hanya terdiam.
“Maaf, bukan aku mau ngebentak kamu. Tapi pikir dong, pake rasio! Persiapannya enggak cukup sehari dua hari. Sudah repot waktu, minta izin kesana-sini, eh sekarang dibatalin gitu aja. Ah, itu bener-bener pekerjaan yang percuma.”
“Jadi, Mas Raka tetep mau berangkat?” tanyaku.
“Yaa... “ jawabnya ragu-ragu.
“Kalo Popy enggak ngizinin?”
Please.... jangan buat semuanya jadi kacau!”
Aku diam membisu. Membiarkan dirinya berpikir.
“Pops, Mas Raka harus berangkat. Kamu enggak keberatan, kan? Popy tau kan ini udah jadi impian Mas Raka dari dulu. Jadi.... kenapa Popy masih enggak ngizinin segala?”
Mata bening dengan bola matanya yang cokelat itu menatapku. Dengan kesungguhan ada dimata itu. Dan aku tidak ingin melihat mata itu kecewa. Aku enggak ingin melihatnya.
“Boleh, kan Pops? Ayo!” katanya setengah membujuk.
“Iya deh. Tapi pulangnya bawa edelweis, ya?”
Dia mengangguk mantap. “Thanks a lot” ujarnya dengan tawa lepas.
Keesokan harinya, Mas Raka benar-benar berangkat bareng teman-temannya. Aku hanya mengantarkannya sampai stasiun.
Sebenarnya bukan maksudku menuntut setangkai bunga edelweis. Aku hanya ingin dia tetap mengingatku meskipun enggak pulang kerumah. Kupikir dengan permintaanku dia akan selalu ingat denganku. Rasanya, aku ikut berdosa pada Mas Raka. Begitu besar rasa kasihnya padaku. Demi setangkai edelweis, dia rela mengorbankan dirinya. Ya, tebing terjal itu tega menghempaskan dirinya. Mas Raka meninggal dengan setangkai bunga edelweis ditangannya.
Aku sering menyesal kenapa harus bunga edelweis? Tetapi, siapa yang bisa menduga jalannya takdir? Mungkin kalo aku beri tau secara langsung dan terus terang, aku pun akan menerimanya walaupun berat. Kutangisi pun, Mas Raka enggak akan kembali.
Tetapi yang mebuatku serasa hampir gila adalah ulah keluargaku dan keluarga Mas Raka. Mereka sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka dariku. Aku tak sempat melihat wajahnya untuk terakhir kali. Bahkan aku enggak hadir saat pemakamannya.
Dan, aku tau segalanya setelah Mas Andi, sahabat Mas Raka kupaksa ngomong semuanya. Karena hampir sebulan Mas Raka enggak pernah muncul, dan juga selalu enggak ada kalo kuhubungi ke rumahnya. Padahal, temen-temennya udah pada pulang. Sepertinya, mereka semua sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka. Keterlaluan memang. Namun, itu karena mereka menyayangiku. Mungkin mereka enggak tega melihatku terlalu berduka.
Sampai kini, aku enggak sanggup untuk mencari penggantinya. Mungkin benar kata pepatah, “First love never die”. Nyatanya, sampai sekarang aku enggak pernah bisa melupakan segala kenangan tentang Mas Raka. Terlebih karena rasa bersalahku karena permintaan setangkai edelweis. Mungkin kalo aku enggak minta, tragedi itu enggak akan terjadi. Aku enggak akan mengenangnya seperti ini, karena mungkin kini dia lagi bercanda denganku.
Ah .... ternyata itu hanya lamunanku. Kutatap pusara yang bertuliskan namanya. Aku menatap lurus kebawah, seolah pandanganku menembus hingga tanah pembatas. Kulihat disana Mas Raka seperti tersenyum melihatku. Seolah dia mengerti kata hatiku yang paling dalam dan memaafkan kesalahanku dengan senyum tulusnya.

Hanya Tuhan yang tau kalau aku tidak ingin perpisahan ini terjadi. Bunga kamboja jatuh satu per satu. Selamat tinggal Mas Raka.... aku akan selalu mendoakanmu.


Created by Popy Tasya Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar