“Pops, Pops ...
aku pinjem bukunya!” Kata Ryan dihadapan Natasha, Gilang, dan Lala. Gilang
terus menyela. “Wah,wah...sekarang dia manggilnya Pops,” kata Gilang menggoda.
Entah karena apa, Ryan si ketua OSIS itu cuma memandangku sejurus. Aku pun
memandangnya sejurus, enggak ada yang lain memang. Namun.... panggilan itu
sanggup membuat mataku terasa pedih.
“Eh, iya. Iya,
Yan. Sorry aku lupa.” Kataku buru-buru dan memberikan buku sejarah yang kubawa.
Lala malah tertawa bareng Gilang dan Natasha.
“Yang pinjem
aneh banget ya, kagak biasanya.” Seru Natasha masih dengan tawanya.
Aku ikut
tersenyum.
Bel tanda pulang
berbunyi sejak tadi, tapi aku masih belum ingin beranjak dari bangkuku. Sampai
akhirnya aku harus pergi ketika Mas Yanto, office boy disekolah menyuruhku
untuk segera meninggalkan kelas yang akan dibersihkannya. Aku tersenyum sambil
meninggalkan kelas.
“Pops...!
Pops...!”
Menggema lagi
panggilan Ryan padaku. Ah ..., sendu sekali suara itu kudengar. Bagai dari alam
jauh yang senantiasa bergema dengan renunganku. Panggilan seseorang yang sudah
lama hilang dalam kalbuku. Dan aku menyukai panggilan itu.
Ah .... andai
saja waktu bisa kubalik, pasti aku akan minta Tuhan membalik lembaran hitam
yang pernah terjadi dua tahun silam. Kalau saja aku turut dalam tragedi itu,
mungkin sekarang aku tak kembali mengenang kepedihan ini.
Bayang-bayang
yang hampir sirna dari anganku, kini mencuat kembali. Ceria senyumnya.
Tatapannya yang lembut dan penuh kasih. Candanya yang kocak dan
kebandelan-kebandelannya yang masih ngangenin. Ah .... serasa baru kemarin aku
mendengarnya. Semua yang lekat dalam anganku. Sementara waktu bukan lagi
berselang satu hari. Semuanya sudah berlalu dua tahun yang lalu. Oh, betapa
cepatnya waktu meninggalkanku.
Sebagai anggota
pecinta alam, dia cukup handal. Pengalamannya di arena penjelajah, lintas alam,
naik turun gunung sudah banyak. Sering juga aku mengikutinya kalau sekolah
libur. Mungkin itu juga sebabnya aku tertarik menjadi pecinta alam. Dia pun sering
bepergian. Tapi di manapun tempatnya, dia selalu nyempetin untuk menghubungiku.
Ya, memang kadang-kadang aku suka mengkhawatirkan keselamatannya.
Hari itu ...
semuanya masih lekat dalam ingatanku.
“Pops, aku
dengan tim akan menjelajah Gunung Gede,” katanya malam itu.
“Oh, ya? Kapan?”
tanyaku biasa. Entahlah saat itu aku tak berminat mendengarkan ceritanya.
“Hey, Popy. Kamu
kenapa? Dari tadi kamu ogah-ogahan gitu, sih? Memangnya Mas Raka punya salah
apa sama kamu?” tanyanya sambil mendekat.
Aku menggeleng.
“Enggak apa-apa. Mas Raka kapan mau ke Gunung Gede?”
“Besok Sabtu
pagi. Kamu mau ikut? Sekolah lagi libur, kan?” tanyanya kemudian.
“Wah, mendadak
banget, Mas Raka. Aku gak bisa kalo Sabtu. Apa Mas Raka harus ikut dalam
pendakian kali ini? Rasanya Popy gak sreg
kalo Mas Raka ikut dalam pendakian kali ini.” Kataku ragu-ragu.
“Ah, tentu saja
gak bisa, Pops! Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Enggak enak, kan
kalo ketuanya ngundurin diri. Lagian aku udah lama pengen kesana, Pops.”
“Tapi rasanya
enggak sreg, Mas Rak. Bener deh,
perasaan Popy enggak enak. Mas Raka batalin aja!” seruku agak keras.
“Kamu gila,
Popy!” serunya pun agak keras.
Aku hanya
terdiam.
“Maaf, bukan aku
mau ngebentak kamu. Tapi pikir dong, pake rasio! Persiapannya enggak cukup sehari
dua hari. Sudah repot waktu, minta izin kesana-sini, eh sekarang dibatalin gitu
aja. Ah, itu bener-bener pekerjaan yang percuma.”
“Jadi, Mas Raka
tetep mau berangkat?” tanyaku.
“Yaa... “
jawabnya ragu-ragu.
“Kalo Popy
enggak ngizinin?”
“Please.... jangan buat semuanya jadi
kacau!”
Aku diam
membisu. Membiarkan dirinya berpikir.
“Pops, Mas Raka
harus berangkat. Kamu enggak keberatan, kan? Popy tau kan ini udah jadi impian
Mas Raka dari dulu. Jadi.... kenapa Popy masih enggak ngizinin segala?”
Mata bening dengan
bola matanya yang cokelat itu menatapku. Dengan kesungguhan ada dimata itu. Dan
aku tidak ingin melihat mata itu kecewa. Aku enggak ingin melihatnya.
“Boleh, kan
Pops? Ayo!” katanya setengah membujuk.
“Iya deh. Tapi pulangnya
bawa edelweis, ya?”
Dia mengangguk
mantap. “Thanks a lot” ujarnya dengan tawa lepas.
Keesokan
harinya, Mas Raka benar-benar berangkat bareng teman-temannya. Aku hanya
mengantarkannya sampai stasiun.
Sebenarnya bukan
maksudku menuntut setangkai bunga edelweis. Aku hanya ingin dia tetap
mengingatku meskipun enggak pulang kerumah. Kupikir dengan permintaanku dia
akan selalu ingat denganku. Rasanya, aku ikut berdosa pada Mas Raka. Begitu
besar rasa kasihnya padaku. Demi setangkai edelweis, dia rela mengorbankan
dirinya. Ya, tebing terjal itu tega menghempaskan dirinya. Mas Raka meninggal
dengan setangkai bunga edelweis ditangannya.
Aku sering
menyesal kenapa harus bunga edelweis? Tetapi, siapa yang bisa menduga jalannya
takdir? Mungkin kalo aku beri tau secara langsung dan terus terang, aku pun
akan menerimanya walaupun berat. Kutangisi pun, Mas Raka enggak akan kembali.
Tetapi yang
mebuatku serasa hampir gila adalah ulah keluargaku dan keluarga Mas Raka.
Mereka sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka dariku. Aku tak sempat melihat
wajahnya untuk terakhir kali. Bahkan aku enggak hadir saat pemakamannya.
Dan, aku tau
segalanya setelah Mas Andi, sahabat Mas Raka kupaksa ngomong semuanya. Karena
hampir sebulan Mas Raka enggak pernah muncul, dan juga selalu enggak ada kalo
kuhubungi ke rumahnya. Padahal, temen-temennya udah pada pulang. Sepertinya,
mereka semua sengaja menyembunyikan kematian Mas Raka. Keterlaluan memang.
Namun, itu karena mereka menyayangiku. Mungkin mereka enggak tega melihatku
terlalu berduka.
Sampai kini, aku
enggak sanggup untuk mencari penggantinya. Mungkin benar kata pepatah, “First love never die”. Nyatanya, sampai
sekarang aku enggak pernah bisa melupakan segala kenangan tentang Mas Raka.
Terlebih karena rasa bersalahku karena permintaan setangkai edelweis. Mungkin kalo
aku enggak minta, tragedi itu enggak akan terjadi. Aku enggak akan mengenangnya
seperti ini, karena mungkin kini dia lagi bercanda denganku.
Ah .... ternyata
itu hanya lamunanku. Kutatap pusara yang bertuliskan namanya. Aku menatap lurus
kebawah, seolah pandanganku menembus hingga tanah pembatas. Kulihat disana Mas
Raka seperti tersenyum melihatku. Seolah dia mengerti kata hatiku yang paling
dalam dan memaafkan kesalahanku dengan senyum tulusnya.
Hanya Tuhan yang
tau kalau aku tidak ingin perpisahan ini terjadi. Bunga kamboja jatuh satu per
satu. Selamat tinggal Mas Raka.... aku akan selalu mendoakanmu.
Created by Popy Tasya Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar