Sore hari ..... aku lelah menyiram halaman yang
luas. Ternyata, ngurus taman itu nggak gampang. Aku sekarang tahu, pekerjaan
Pak Mul itu nggak gampang. Melelahkan.
Aku udah nggak mikirin itu lagi.
Bersandar di sofa, terus ...... lesss. Aku tertidur, dan baru sadar saat
dibangunin seseorang.
“Si ....! Masa tidur dikursi? Pindah
ke kamar gih!” katanya halus sekali. Mulanya kupikir Bi Tinah, tapi suaranya
jadi lain. Aku membuka mata.
Seseorang yang nggak kukenal
tersenyum padaku. Tapi kok, dia mengenalku?
“Siapa ya? Kalo nyari Papa atau Mama
nggak ada. Lagi ke undangan.” Jawabku setengah takut.
Dia tersenyum lagi.
“Si, kamu sama sekali nggak
mengenali aku?” tanya dia lagi.
Aku berpikir keras untuk
mengenalinya. Tapi, tetap saja aku nggak mengenalinya.
Dia tertawa keras. “Sisi yang udah
pikun atau aku yang udah kelewat banyak berubah, ya?” tanyanya lagi. “Ingat
Fikri, kan? Ini Fikri!”
Aku menepuk jidatku. “Ya ampun! Ini
Fikri? Kamu udah segini gagahnya, Fik? Aku sampe pangling.” Kataku pelan. Nggak
nyangka akan bertemu lagi sama tetangga sebelah di Lombok, yang belasan tahun
lalu pernah akrab denganku. Sampai aku berumur 11 tahun, aku harus pindah ke
Jawa untuk mengikuti orang tua. Sejak itu, aku nggak pernah ketemu Fikri yang dua
tahun lebih tua dariku. Semenjak itu, aku nggak pernah kirim kabar.
“Heh, malah ngelamun. Kenapa sih,
kamu?” tanyanya memutuskan lamunanku.
“Oh, ya. Aku benar-benar pangling.
Kok kamu masih mengenaliku, apa wajahku nggak berubah, Fik?”
“Berubah, tapi wajah kamu tetep
sipit. Kayak dulu!” serunya.
“Ya, gini-gini masih bisa lihat apa
aja, kan?” kataku. “Gimana kabarnya Lombok?”
“Nggak tahu, Si. Aku juga pindah
sebulan setelah kamu pindah. Sekarang kamu kelas dua SMA, ya?” tanyanya.
“Kok, kamu tahu, Fik?”
“Tahu dong. Kan tadi aku ngitung.”
“Sialan, kamu.” Seruku sambil
menjitak kepalanya.
“Kamu masih ingat kesukaan kita,
kan?” tanyanya dengan memandangku lurus.
Aku merasa nggak enak dipandang
seperti itu. Apalagi dia ngucapin kata “Kita” dengan nada seperti itu.
“Oh ya. Tentu. Kamu mau minum es
jeruk? Sebentar ya aku ambilkan.” Kataku lalu meninggalkan Fikri.
Nggak lama kemudian, Bi Tinah datang
membawa segelas es jeruk.
“Silakan, Fik! Sorry, Fik aku lagi
flu jadi nggak minum es.”
“Thanks!”
katanya sambil meminum seteguk.
“Nanti malam kamu ada acara nggak,
Si? Mau kan, nemenin aku jalan-jalan melihat kotamu?”
“Oh, ya? Berapa hari kamu akan
tinggal di Klaten? Kamu dari Lombok pindah kemana?”
“Ke Jakarta. Di Klaten aku cuma dua
minggu. Dirumah Om ku.” Jelasnya.
“Wah, lama juga kalo gitu.”
“Kamu nggak suka ya kalo aku lama
disini?”
Aku heran juga. “Oh, nggak gitu.
Maksudku, berarti cukup waktu untuk melihat sudut di Klaten. Kamu pikir, Klaten
itu sempit?”
“Kupikir, kamu nggak mau nemenin
aku. Kan bisa aja, apalagi kalo pacar kamu ngelarang.”
“Ya, nggak dong. Kamu kan sahabat aku. Lagian nggak setiap hari bisa
ketemu, kan?” tanyaku.
“Nanti jalan-jalan mau?” tanyanya
lagi.
“Nanti?” tanyaku nggak percaya.
“Oke, tapi kita tunggu Papa dan Mama dulu. Lagian juga aku belum mandi.”
“Yaudah cepetan, mandi sana!”
serunya.
“Terus , kamu?”
“Biar aku tunggu disini aja.”
“Mendingan kamu main Game atau baca-baca. Yuk! Aku tunjukkin
tempatnya.” Kataku terus mendahului pergi.
Dia mengikutiku, kebetulan dia mau.
Kalo nggak? Terus, Dion datang dan Fikri cerita yang nggak-nggak bisa kacau.
“Kutinggal dulu, ya?” kataku.
Dia tersenyum lagi.
Kenangan belasan tahun yang lalu
sebenarnya masih tersimpan dalam hatiku. Pulang pergi sekolah dibonceng, Fikri.
Terus nyari ikan bareng. Sampai-sampai Fikri marah-marah kalo aku nangis karena
ikanku diambil oleh anak lain. Fikri juga yang ngelindungin, kalo aku diusilin
anak-anak cowok. padahal, dia itu jelek dan dekil. nggak nyangka deh kalo
sekarang dia ada disini. gagah dan lebih ganteng. Pasti Dion nggak percaya kalo
dia itu sahabatku.
“Halo,
Assalamu’alaikum, Dion?”
“Wa’alaikumsalam,kenapa , Si?” tanyanya
langsung to the point.
“Emm,
nanti kamu nggak usah kerumah ya, Yon. Aku mau jalan-jalan sama sahabat aku.
Boleh, kan?”
“Why not? Aku juga lagi sibuk buat
makalah. Terus .... ada lagi?”
Hah!
Aku seperti tersentak. Nggak biasanya Dion kayak gitu!
“Si,
kamu masih disitu, kan?” teriaknya.
“Ya.
Gitu aja deh, Yon!”
Klik. Aku meletakkan handphone-ku ragu-ragu. Kayaknya ada
yang nggak beres sama Dion. Tapi, Dion kan bilang kalo dia lagi sibuk ngerjain
makalah? Biasanya kan, dia paling nggak suka diganggu kalo lagi ngerjain
begituan? Entahlah .....
Malamnya, aku jalan-jalan dengan
Fikri. Cerita-ceritanya yang kocak, membuatku lupa dengan Dion. Fikri tetap
Fikri yang kukenal dulu.
“Eh, lihat, Si!” serunya.
Aku menoleh. “Apa?” tanyaku heran.
“nggak apa-apa.”
“Jayus, ah!”
“Emang!” jawabnya dengan santai. Dan
malam itu, aku bawa sekeranjang penuh berisi buah-buahan. Hari-hari berlalu.
Fikri bersamaku hampir dua minggu. Dia bisa mengikuti setiap kegiatan
dirumahku. Bisa mengimbangi Papa main tennis dan catur, juga menyenangi hati
Mama dengan menemaninya mengatur taman dan
membawakan bunga sedap malam kesukaan Mama yang belum ada di taman.
Fikri udah merebut hati Papa dan
Mama. Dan juga merebut hatikukah? Dengan canda dan perhatiannya yang nyaris
tidak pernah kudapatkan dari Dion.
Semua itu membuatku mau tak mau
membandingkan Fikri dengan Dion. Fikri ramah, ceria, enerjik, dan
memperlakukanku bagai putri raja. Dia bisa membawa diri, terutama merebut hati
Papa dan Mama.
Sedangkan Dion? Dia pendiam. Nggak
begitu ramah dan sulit untuk membiasakan diri. Dia nggak suka basket. Dia nggak
suka jalan-jalan. Hari-harinya Cuma habis bercumbu dengan komputer, buku-buku,
penelitian-penelitian yang membuat namanya berkibar dibidang penelitian ilmiah.
Bahkan selama ini, Dion nggak pernah
mengatakan cinta padaku. Aku hanya tahu kalo dia mencintaiku dengan menunjukkan
sikapnya. Dia nggak pernah melirik gadis lain. Bahkan dia bertanya dulu apakah
aku setuju jika dia ikut perlombaan diluar kota. Apakah ini bukan sikap yang
manis? Bukankah dulu aku menyukainya karena semua itu? Karena dia nggak mau
berhura-hura dan memamerkan kekayaan orangtuanya?
Ah,
kenapa kini, hampir dua minggu Dion nggak pernah menghubungi aku?
Aku benar0benar bingung dan gelisah.kemarin
Fikri mengatakan tentang persaannya kepadaku yang lebih dari seorang sahabat.
Dia juga memintaku untuk menjawabnya sebelum dia pulang ke Jakarta.
Apalagi, Mama yang sudah memberi
lampu hijau kalo aku jalan dengan Fikri. “Mama tahu kalo kamu udah sama Dion.
Tapi, Mama juga tahu kalo kamu lebih suka sama Fikri. Hari-hari kamu juga
ceria. Dia juga lebih menyenangkan.” Kata Mama.
Aku diam saja. Namun, kebingunganku
membawaku kerumah Dion.
Seperti biasa, Dion lagi mencuci mobilnya di halaman
setiap minggu. Saking asyiknya, dia nggak menyadari kehadiranku.
“Lho, Si?” tanyanya sambil
menjajariku duduk. “Ada masalah apa?”
“Aku lagi bingung.” Jawabku
ragu-ragu.
“Soal Fikri?” tanyanya tanpa emosi.
Aku terbelalak. “Kamu udah tahu,
Yon?”
“Lho, bukankah temanmu temanku juga,
Si? Aku dikasih tau Chintya.” Katanya pelan. Tapi aku merasakan kecemburuannya.
“Kamu sayang dia, Si? Aku nggak apa-apa
kok, kalo kamu milih dia. Aku sayang kamu, Si. Dan itu sungguhan, tapi kalo itu
malah ganggu kamu, aku harus gimana lagi? Aku memang gini, nggak bisa beramah
tamah dengan sekelilingku. Padahal aku pengen banget. Tapi sulit!”
“Aku .... aku ....” kata-kataku
seperti tersangkut ditenggorokkan.
Kemudian, kuputuskan untuk kepada
siapa aku menjatuhkan pilihan. Kuputuskan untuk menceritakan semuanya kepada
Dion, termasuk hatiku yang terganggu dengan kehadiran Fikri. Air mataku nyaris
tumpah, tapi Dion membiarkan begitu saja.
“Maafkan aku, Si. Aku emang nggak
bisa seperti itu. Tapi, aku akan mencobanya demi kamu.” Katanya sambil
menatapku.
Aku menenggakkan kepala.
“Nggak usah, Yon. Aku mengenalmu
seperti ini. Aku yakin kamu lebih baik jadi diri sendiri, daripada terpaksa.”
“Kamu pikir, aku nggak bisa berubah,
Si?” tanyanya cepat.
Aku diam.
“Aku antar kamu pulang, ya?”
“Aku bawa motor.” Jawabku.
“Ooohh ... hati-hati kalo gitu. Atau
kamu masih mau disini? Oh ya, sori. Waktu kamu nelpon, aku kasar banget.
Soalnya waktu itu Bu Dian lagi ngasih pengarahan ilmiah, terus kamu nelpon.
Buayar aku deh, semua konsentrasiku.” Jelasnya.
Aku hanya tersenyum.
“Jadi,
aku ditolak, nih?” tanay Fikri setelah mendengar jawabanku. Rasanya memang
sulit kalo harus ngecewain orang terdekat.
“Bukan
gitu, Fik. Aku tetap jadi sahabat kamu. Bukankah sahabat itu kata yang manis,
Fik?”
Fikri tersenyum pelan.
“Aku terlambat?”
“Kamu
akan mendapatkan yang lebih baik dariku.” Aku mencoba menghiburnya.
“Well,
well, kayaknya sulit, tuh!”
“Kamu
aja yang pilih-pilih!” seruku setengah tertawa.
“Masalah
seserius ini kamu anggap lelucon?!” serunya. “Tapi, oke deh. Kamu tetap adikku,
kan? Besok, aku balik ke Jakarta. Kamu mau jalan-jalan lagi?” tanyanya seperti
nggak ada lagi kecewa yang dia simpan.
Fikri
memang begitu. Kadang dia tertawa saat hatinya sedang duka, kadang dia menangis
kala hatinya sedang bahagia.
“Nggak.”
Kataku. “Kamu harus pulang. Ini malam minggu.”
“Oke,
jaga diri baik-naik ya!” katanya terus berpamitan.
Aku
mengantarnya. Tetapi .... masih didepan pintu, sosok bayangan muncul
dihadapanku. Dion.
Ya
Tuhan, bagaimana ini? Aku nyaris nggak bisa berkata apa-apa. Dan aku hampir
nggak bisa mempercayainya.
“Halo
Fikri, udah mau balik, nih? Kapan pulang ke Jakarta?” tanya Dion ramah.
“Oh
hay, Yon! Besok gue cabut ke Jakarta. Jaga ade gua baik-baik, ya! Jitak aja
kalo nakal.” Seru Fikri.
“Kalian
mempermainkan aku?!” teriakku keras.
“Hahaha,
kamu jangan keliru! Tanya aja sama Dion semuanya.” Kata Fikri tanpa
menghiraukan aku dan terus meninggalkan aku.
“Kamu
jahat! Kamu jelek! Judes! Suka bohongin orang!” kataku sambil memukul-mukul
punggung Dion.
“Denger
dulu,” seru Dion masih dengan tawanya.
“Alaaahh,
kamu tukang bohong!”
“Nggak,
kemarin aku kerumah Fikri, terus ngomong baik-baik. Akhirnya keputusannya
nunggu kamu. Tadi berarti ....”
Aku
hanya bengong sendiri .....
Created by Popy Tasya Rahayu